Prognosis Atresia Ani
Atresia ani memiliki prognosis yang cukup baik, terutama pada pasien yang tidak memiliki kelainan kongenital penyerta. Prognosis biasanya ditentukan berdasarkan kemungkinan pasien mencapai kontrol defekasi. Komplikasi atresia ani yang paling sering terjadi adalah konstipasi.
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi akibat diagnosis terlambat ditegakkan, antara lain dehidrasi, vomitus, aspirasi, dan sepsis. Komplikasi juga dapat terjadi berhubungan dengan tindakan pembedahan, seperti konstipasi, perlengketan, atau infeksi saluran kemih. Komplikasi terkait pembedahan lainnya, dapat berupa fistula persisten, stenosis anal, striktur pada bagian yang telah dilakukan rekonstruksi, dan prolaps rektal.[1,2,5]
Konstipasi
Konstipasi merupakan komplikasi postoperatif yang paling sering terjadi. Insidensi terjadinya konstipasi pada penderita atresia ani adalah sekitar 25%. Konstipasi mungkin terjadi secara kronis, dan dapat membutuhkan terapi laksatif jangka panjang untuk merangsang gerakan peristaltik, seperti senna. Jenis laksatif lain, misalnya laktulosa, kurang sesuai sebab menyebabkan terbentuknya feses cair yang dapat menyebabkan inkontinensia fekal.
Konstipasi yang tidak ditangani dengan adekuat dapat mengakibatkan impaksi, dilatasi rektal, penurunan motilitas usus, dan memperparah konstipasi. Tata laksana konstipasi secara agresif diperlukan untuk mencegah siklus ini. Morbiditas yang dapat ditimbulkan akibat konstipasi kronis ini, antara lain impaksi feses, megakolon, overflow pseudo-incontinence, dan kebutuhan pembedahan.[20,21]
Inkontinensia Fekal
Meskipun telah dilakukan pembedahan, sekitar 30% pasien masih mengalami inkontinensia fekal. Keadaan ini terutama ditemukan pada pasien dengan kelainan penyerta, seperti gangguan pada sakrum, otot pelvis, atau persarafan pelvis, serta tethered cord dan myelomeningocele.
Pada pasien-pasien ini perlu dilakukan tata laksana untuk mengosongkan usus dengan enema agar mencegah terjadinya infeksi salurah kemih, menjaga fungsi urinasi, dan memperbaiki kualitas hidup. Kemampuan defekasi normal perlu diperiksa kembali ketika pasien berusia 3–4 tahun.[5,15]
Prognosis
Pada pasien tanpa kelainan kongenital penyerta, prognosis atresia ani secara umum cukup baik. Prognosis ditentukan berdasarkan kemungkinan tercapainya kontrol defekasi (fecal continence). Pada pasien atresia ani tanpa fistula, sekitar 76% pasien akan mencapai kontrol defekasi.
Kontrol defekasi yang baik biasa ditandai dengan pasien berdefekasi 1–3 kali sehari, bentuk feses normal, bersih dari feses di antara waktu defekasi, serta dapat mengejan saat akan berdefekasi. Pada pasien seperti ini, dapat dilakukan toilet training. Pasien yang berdefekasi terus-menerus tanpa didahului rasa ingin berdefekasi, atau tidak mengejan, biasanya memiliki prognosis yang kurang baik.
Pasien dengan malformasi tipe rendah, lebih mungkin mencapai kontrol defekasi. Pada pasien dengan tethered cord, maupun malformasi spinal lainnya, seperti hemivertebra atau spinal dysraphism akan lebih sulit mengontrol defekasi.
Pada pasien dengan kelainan kongenital penyerta, misalnya defek kardiovaskular, seperti ventricular septal defect, atrial septal defect, atau tetralogy of Fallot, defek ginjal, atau kelainan lain, misalnya atresia esofagus atau atresia duodenum dapat memiliki prognosis yang lebih buruk. Hal-hal tersebut dapat menjadi penyulit saat operasi dilakukan.[1,2,5]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra