Patofisiologi Spinal Cord Injury
Pada kebanyakan kasus, patofisiologi cedera spinal atau spinal cord injury melibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan tindak kekerasan. Hal ini kemudian mempengaruhi akson dari saraf spinal dan menyebabkan perubahan temporer atau permanen dari fungsi motorik, sensorik, atau otonom.[1]
Cedera Primer
Patofisiologi spinal cord injury primer terjadi karena adanya trauma mendadak pada spinal sehingga menyebabkan fraktur atau dislokasi pada vertebra. Cedera dapat berupa tergesernya fragmen tulang, komponen diskus, atau kerusakan ligament ke dalam jaringan korda spinal.[3]
Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun inkomplit. Hal ini disebabkan oleh cedera mekanik, berupa:
- Kompresi
- Distraksi
- Laserasi
- Transeksi
Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah ataupun membran sel. Pada banyak kasus, cedera meninggalkan ”subpial rim” dari akson terdemielinisasi atau tidak terdemielinisasi yang berpotensi untuk mengalami regenerasi. Selain itu, timbul edema akut pada medula yang berkontribusi terhadap kejadian iskemia pada medula spinalis. Mekanisme ini menyerupai patofisiologi molekuler pada cedera otak traumatik.[3,6]
Cedera Sekunder
Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses patologis ini didasari oleh berbagai mekanisme yang menyebabkan kekurangan energi akibat gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera sekunder dibagi menjadi tiga fase.[3,7]
Fase Akut
Fase akut berlangsung dalam 48 jam pertama. Kerusakan vaskularisasi, perdarahan dan iskemia terjadi dalam fase ini. Gangguan mikrosirkulasi tersebut mengakibatkan perubahan patologik seperti disregulasi ionik, eksitotoksisitas, produksi radikal bebas, dan respon inflamasi yang berlebihan menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada neuron dan glial.[3,4,7]
Fase Subakut/Intermediate
Periode subakut diperkirakan terjadi hingga dua minggu setelah cedera. Karakteristik dari fase ini adalah respons fagositosis untuk membersihkan debris seluler dan proliferasi aktif dari astrosit yang membentuk parut yang mencegah regenerasi aksonal. Meskipun begitu, proliferasi astrosit berperan penting dalam homeostasis ionik dan pembentukan kembali sawar darah otak, sehingga membatasi imunitas sel dan edema.
Minggu kedua hingga bulan keenam setelah cedera ditandai dengan maturasi parut astrositik dan regenerasi aksonal yang berkelanjutan.[3,4,7]
Fase Kronik
Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan maturasi dan stabilisasi parut astrositik, pembentukan syrinx dan kavitas, dan degenerasi akson di bagian distal cedera. Sekuele jangka panjang meliputi nyeri kronik dan spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah remyelinisasi dan plastisitas sistem saraf.[3,4,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Bunga Saridewi