Diagnosis Eklamsia
Diagnosis eklamsia harus selalu dipertimbangkan pada semua wanita hamil dengan kejang. Penegakan diagnosis harusnya berpusat pada preeklamsia karena eklamsia merupakan komplikasi dari proses penyakit tersebut.
Hasil pemeriksaan fisik khas yang dapat menunjang diagnosis eclampsia adalah kejang tonik klonik umum, yang biasanya berlangsung selama 60–90 detik. Kondisi postictal sering mengikuti kejang. Pasien dapat mengalami nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri abdomen, dan peningkatan tekanan darah sebelum kejang.
Anamnesis
Pada umumnya, kejang eklamsia terjadi saat antepartum, biasanya saat usia kehamilan >20 minggu). Kejang bersifat tonik klonik yang berlangsung selama 60–90 detik, dan akan diikuti dengan postictal state (bingung, gelisah atau bahkan tidak sadar). Akan tetapi, eklamsia dapat juga terjadi saat intrapartum atau postpartum, sehingga kejang yang terjadi setelah melahirkan juga perlu dicurigai sebagai eklamsia.
Biasanya, sebelum episode kejang, pasien dapat mengeluhkan nyeri kepala (bagian frontalis), bengkak-bengkak pada seluruh tubuh, gangguan penglihatan (pandangan buram dan fotofobia), dan nyeri perut bagian atas atau epigastrium.
Faktor risiko yang mungkin saja berperan pada eklamsia perlu ditanyakan, seperti riwayat kehamilan (kehamilan pertama, kehamilan kembar), usia pasien, riwayat penyakit saat ini atau dahulu (riwayat preeklamsia atau eklamsia, diabetes mellitus atau diabetes gestasional, hipertensi kronis atau hipertensi dalam kehamilan, gangguan ginjal, lupus dan lainnya) dan riwayat antenatal care (ANC) yang rutin. Faktor-faktor tersebut sebaiknya diketahui saat pemeriksaan antenatal agar preeklamsia/eklamsia dapat diidentifikasi dengan segera.
Pada sebagian besar kasus, eklamsia terjadi pada pasien dengan kondisi preeklamsia berat, tetapi pada 25% kasus masih dapat ditemukan juga pasien dengan preeklamsia ringan yang berkembang menjadi eklamsia (pasien mengalami kejang).[3,4]
Pemeriksaan Fisik
Kebanyakan pasien eklamsia memiliki manifestasi klinis kejang dan hipertensi onset baru, yang dapat disertai dengan edema anasarka dan proteinuria. Kejang eklamsia bersifat tonik klonik umum yang biasanya berlangsung selama 60–90 detik dan diikuti dengan postictal state (penurunan kesadaran setelah kejang).
Hipertensi dapat dikatakan onset baru jika muncul pertama kali saat kehamilan (umumnya >20 minggu), dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolik >110 mmHg. Selain itu, pemeriksaan tanda-tanda vital dapat menunjukkan takikardia dan takipnea.[4]
Pemeriksaan fisik dada akan menunjukkan suara napas patologis, seperti ronkhi atau rales. Pemeriksaan fisik abdomen akan menunjukkan nyeri tekan pada kuadran atas atau epigastrium, yang dapat disertai dengan tinggi fundus uteri yang lebih kecil daripada estimasi usia kehamilan. Edema pada tungkai atau edema anasarka juga sering ditemukan.
Pengukuran urine output penting dilakukan pada pasien eklamsia untuk menentukan disfungsi renal yang dapat bermanifestasi sebagai oliguria dan anuria.
Pemeriksaan neurologis pada eklamsia umumnya menunjukkan refleks fisiologis meningkat atau hiperrefleks dan klonus positif. Pemeriksaan funduscopy dapat mendeteksi papilledema.[1-4]
Pemeriksaan vaginal toucher (VT) tidak dapat diabaikan, terutama pada pasien yang mendekati usia kehamilan yang cukup, untuk menentukan pembukaan serviks dan metode persalinan.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding eklamsia cukup beragam, mengingat kejang pada kehamilan bisa saja disebabkan oleh kondisi lain, seperti gangguan elektrolit, infeksi, trauma kepala, stroke atau perdarahan intrakranial, hingga keganasan atau tumor otak. Kecurigaan terhadap diagnosis banding tersebut harus didasarkan pada riwayat penyakit dan temuan pemeriksaan fisik pasien.
Gangguan Elektrolit
Gangguan elektrolit sering didahului oleh gejala berupa muntah dan diare. Gangguan elektrolit harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar elektrolit dalam darah, terutama natrium, kalium, klorida, dan magnesium.
Infeksi
Meningitis dan ensefalitis merupakan infeksi yang memiliki manifestasi berupa kejang atau perubahan status mental. Meningitis dan ensefalitis biasanya didahului dengan demam, nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan kaku kuduk.
Trauma Kepala
Trauma kepala atau cedera otak traumatik dapat terjadi akibat benturan atau hantaman benda tumpul atau benda tajam. Riwayat trauma atau terjatuh dan adanya luka pada bagian kepala dapat menunjang diagnosis ini. Namun, meskipun trauma kepala harus disingkirkan, wanita hamil dengan kejang yang mengalami riwayat kecelakaan yang tidak dapat dijelaskan, seperti kecelakaan tunggal, harus tetap dievaluasi untuk kemungkinan eklamsia.[1,3]
Hipertensi Ensefalopati
Hipertensi ensefalopati akibat krisis hipertensi juga dapat menyebabkan gejala dan tanda yang serupa dengan eklamsia. Kondisi ini biasanya didahului dengan riwayat hipertensi yang tidak terkontrol. Gejala klinis biasanya membaik setelah pemberian antihipertensi.
Stroke
Stroke hemoragik atau iskemik juga dapat menyebabkan kejang atau penurunan kesadaran dan dapat disertai dengan nyeri kepala hebat sebelumnya. Riwayat hipertensi yang tidak terkontrol, dan penurunan kesadaran. Kelemahan ekstremitas sebelah sisi dapat menjadi tanda khas dari stroke dan dapat dikonfirmasi melalui CT scan kepala atau MRI otak.[1,3]
Tumor Otak
Tumor otak memiliki manifestasi yang nonspesifik meliputi penurunan kesadaran, kejang, nyeri kepala, mual, muntah, dan kejang. Berbagai keluhan tersebut dapat terjadi secara progresif maupun akut. Kejang pada tumor otak dapat berupa fokal maupun umum, tergantung pada lokasi tumor. CT scan kepala dan MRI otak dapat menegakkan diagnosis ini.[1,3,4]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan laboratorium dan pencitraan.
Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria dapat membantu mendiagnosis preeklamsia, tetapi tidak menjadi patokan untuk menentukan manajemen klinis eklamsia. Proteinuria didefinisikan sebagai ditemukannya >300 mg protein dalam sampel urine 24 jam atau rasio protein/kreatinin urine ≥0,3.[3,4]
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan anemia akibat hemolisis mikroangiopati, hemokonsentrasi akibat third spacing, dan hemodilusi fisiologis pada kehamilan. Selain itu, dapat juga terjadi trombositopenia (<100.000/µL) yang mungkin berkaitan dengan hemolisis pada sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme levels, and low platelet levels), yang ditemukan juga pada 20–25% pasien eklamsia.
Pemeriksaan laboratorium penting lainnya adalah pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal, termasuk laju filtrasi glomerulus. Aspartate aminotransferase (SGOT) dapat 2 kali lipat lebih besar dari nilai normal atau >72 IU/L. Kadar bilirubin total biasanya >1,2 mg/dL.
Serum kreatinin akan meningkat pada eklamsia akibat penurunan volume intravaskular dan pengurangan laju filtrasi glomerulus. Bersihan kreatinin (creatinine clearance (CrCl) dapat <90 mL/menit/1,73 m².[3,4]
Pencitraan
CT scan kepala dengan/tanpa kontras dapat menyingkirkan kemungkinan stroke, perdarahan intrakranial, dan lesi sistem saraf pusat, yang dapat saja mengakibatkan kejang pada kehamilan. Walaupun tidak termasuk alat diagnostik, CT scan dilaporkan menunjukkan abnormalitas pada pasien eklamsia. Temuan CT scan dapat menunjukkan edema serebral, perdarahan serebral, perdarahan intraventrikular, dan infark serebral.[1,3,4]
Abnormalitas pada MRI otak juga terjadi pada 90% wanita dengan eklamsia. Sindrom posterior reversible encephalopathy (PRES) yang mengindikasikan edema vasogenik semakin dikenal sebagai komponen eklamsia.
CT scan dan MRI harus selalu dipertimbangkan pada pasien yang mengalami trauma sebelumnya dan pada pasien yang tidak merespons terhadap terapi magnesium sulfat. Kedua modalitas ini juga perlu dipertimbangkan pada pasien dengan tanda tidak khas, seperti kejang yang terjadi >24 jam postpartum atau tidak disertai dengan hipertensi.
Rontgen toraks dapat menunjukkan edema paru. Ultrasonografi dengan Doppler digunakan untuk menilai dampak pada fetus, seperti intrauterine growth restriction (IUGR). USG abdomen juga dapat berguna untuk memantau komplikasi, seperti abrupsio plasenta.[1,3,4]