Diagnosis Perdarahan Postpartum
Diagnosis perdarahan postpartum atau postpartum hemorrhage (PPH) dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis singkat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperlunya. Perlu diingat bahwa ketiga tindakan tersebut harus dilakukan dengan cepat dan tepat, karena kasus perdarahan postpartum merupakan kasus kegawatdaruratan.[2,7]
Anamnesis
Anamnesis tidak dapat dilakukan secara lengkap pada semua kasus perdarahan postpartum. Hal ini dikarenakan sebagian besar kasus perdarahan postpartum sifatnya mengancam nyawa, dan mencari sebab perdarahan serta menghentikan perdarahan lebih diutamakan. Namun, anamnesis dapat dilakukan secara singkat untuk membedakan antara jenis perdarahan postpartum primer atau sekunder, dan untuk mencari penyebab serta faktor risiko dari perdarahan postpartum.[2,7]
Anamnesis juga dilakukan pada dokter atau bidan yang menangani persalinan untuk mengetahui proses dan penyulit pada kehamilan dan persalinan. Berikut ini adalah perbedaan antara perdarahan postpartum primer dan sekunder:
- Perdarahan postpartum primer terjadi dalam 24 jam pertama pasca persalinan, biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, dan inversio uteri
- Perdarahan postpartum sekunder terjadi setelah 24 jam pasca persalinan, biasanya disebabkan oleh tertinggalnya jaringan plasenta (sisa plasenta), infeksi dalam rahim dengan atau tanpa produk-produk konsepsi yang tertinggal, involusi rahim yang lambat, atau tidak adekuatnya drainase lokia. Selain itu, sisa jaringan plasenta dalam rahim dapat menyebabkan endometritis[2,8]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada perdarahan postpartum terbagi menjadi dua, yakni pemeriksaan umum dan khusus/obstetri.
Pemeriksaan Fisik Umum
Pemeriksaan fisik secara umum meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, nadi, laju napas, tekanan darah, hidrasi kulit dan membran mukosa, capillary refill time (CRT), dan urine output. Pemeriksaan fisik secara umum penting dilakukan terutama untuk menilai derajat keparahan hipovolemik akibat perdarahan postpartum.[2,7,9]
Tabel 1. Tanda dan Gejala Sesuai Derajat Hipovolemik
Klasifikasi | Tanda Klinis |
Ringan Jumlah perdarahan 1000-1500 mL (10-15%) | ● Keadaan umum pasien tampak lemas ● Tekanan darah sistolik 80‒100 mmHg ● Takikardia ringan ● Mottled skin ● Akral atau ekstremitas dingin ● CRT (capillary refill time) memanjang ● Urine output menurun |
Sedang Jumlah perdarahan 1500-2000 mL (25-35%) | ● Keadaan umum pasien tampak gelisah ● Tekanan darah sistolik 70‒80 mmHg ● Takikardia >110 kali per menit ● Laju napas >30 kali per menit ● Kulit pucat (telapak tangan, mukosa bibir) ● CRT memanjang ● Urine output menurun (oliguria) |
Berat Jumlah perdarahan 2000-3000 mL (35-50%) | ● Keadaan umum pasien tampak agitasi atau bingung, terkadang tidak sadarkan diri ● Tekanan darah sistolik 50‒70 mmHg ● Anuria |
Sumber: Novita, 2019.[9]
Pemeriksaan Fisik Khusus
Pada pemeriksaan fisik khusus atau obstetri dicari tahu penyebab dari perdarahan. Pemeriksaan obstetri meliputi pemeriksaan kontraksi uterus, letak, konsistensi uterus, pemeriksaan dalam untuk menilai adanya perdarahan atau sumber perdarahan, melihat keutuhan plasenta, tali pusat, serta mencari apakah terdapat robekan pada jalan lahir. Berikut ini adalah tanda gejala sesuai penyebab perdarahan postpartum.[2,7,9]
Tabel 2. Tanda dan Gejala pada Perdarahan Postpartum
Penyebab | Tanda dan gejala |
Atonia uteri | ● Perdarahan terjadi segera setelah anak lahir ● Uterus tidak berkontraksi, konsistensi uterus lembek |
Retensio plasenta | ● Plasenta tidak keluar 30 menit setelah bayi lahir |
Sisa plasenta | ● Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap ● Perdarahan dapat muncul 6-10 hari pasca persalinan disertai subinvolusi uterus |
Robekan jalan lahir | ● Perdarahan mengalir segera setelah bayi lahir |
Inversio uteri | ● Fundus uteri tidak teraba ● Liang vagina terisi massa ● Nyeri perut (ringan hingga berat) |
Gangguan pembekuan darah | ● Perdarahan sulit dihentikan, darah cenderung encer dan tidak terdapat gumpalan darah ● Kegagalan terbentuknya gumpalan darah muncul pada saat dilakukan uji pembekuan darah ● Terdapat faktor predisposisi seperti solusio plasenta, intrauterine fetal death / IUFD, eklamsia, emboli air ketuban |
Sumber: Novita, 2019.[9]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada perdarahan postpartum adalah berdasarkan etiologinya.
Atonia Uteri
Pada atonia uteri akan didapatkan tonus otot yang abnormal setelah plasenta lahir. Perabaan uterus terasa lembek.
Retensio Plasenta
Pada retensio plasenta, plasenta tidak dapat dilahirkan bahkan 30 menit setelah bayi lahir. Kontraksi uterus bisa normal, bisa hipotonus.
Sisa Plasenta
Sisa plasenta dapat terdeteksi segera setelah plasenta lahir dengan melihat kelengkapan plasenta, dan beberapa hari setelah lahir dimana didapatkan perdarahan terus menerus dan subinvolusi uterus.
Robekan Jalan Lahir
Setelah bayi lahir, dapat terlihat adanya robekan pada perineum, cervix, atau vagina.
Inversio Uteri
Setelah bayi dan plasenta lahir, saat dilakukan perabaan, tidak didapatkan fundus uteri. Massa uteri dapat terlihat pada liang vagina.
Gangguan Pembekuan Darah
Penyebab ini cukup jarang didapatkan dan biasanya sudah terdeteksi saat dilakukan antenatal care, misalnya pada pasien HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, dan low platelet count). Ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium profil pembekuan darah, seperti bleeding time, clotting time, dan prothrombin time.[2,7]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada perdarahan postpartum tidak selalu dilakukan, karena disesuaikan dengan jenis perdarahan serta onset kejadian. Namun berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan (terutama pada asuhan antenatal) untuk membantu dokter dalam mencari faktor risiko, mendiagnosis, serta menentukan penyebab perdarahan postpartum.[2,7]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, utamanya pemeriksaan Hemoglobin. Umumnya jika terjadi perdarahan masif dapat ditemukan hasil Hb kurang dari 8 g/dL. selain itu apabila pada saat asuhan antenatal ditemukan bahwa ibu mengalami anemia, maka keadaan ini dapat segera dikoreksi.
Pemeriksaan golongan darah juga dilakukan untuk kepentingan tatalaksana bila pasien membutuhkan transfusi darah. Transfusi sebaiknya tidak ditunda dan tidak diputuskan berdasarkan kadar hemoglobin semata, tetapi sebaiknya dilakukan berdasarkan kondisi klinis pasien.
Pemeriksaan waktu perdarahan atau waktu pembekuan, trombosit, protrombin dan partial prothrombin time / PTT, untuk menyingkirkan kemungkinan gangguan faktor pembekuan darah.
Pemeriksaan fibrinogen atau D-dimer dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis disseminated intravascular coagulation (DIC).[2,7]
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dilakukan untuk melihat apakah terdapat sisa plasenta ataupun gumpalan darah. Kemudian apabila dilakukan pada saat antenatal dapat membantu dokter mendeteksi plasenta previa dan plasenta akreta.[2,7]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini