Patofisiologi Preeklampsia
Patofisiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Preeklampsia diperkirakan terjadi karena pengaruh multifaktorial, seperti interaksi faktor genetik dan lingkungan dari sisi maternal, paternal, dan fetus.
Beberapa faktor yang dinilai paling berperan dalam patofisiologi preeklampsia adalah abnormalitas plasentasi, ketidakseimbangan faktor angiogenik, abnormalitas sistem imun maternal, serta faktor genetik. Semua mekanisme tersebut lalu menyebabkan disfungsi multiorgan pada ibu.[1,5]
Mekanisme Terjadinya Preeklampsia
Patofisiologi preeklampsia berawal dari kegagalan remodelling pada arteri spiralis yang menyebabkan iskemia plasenta. Selanjutnya, iskemia meningkatkan produksi protein antiangiogenik dan faktor proinflamasi yang turut berkontribusi pada disfungsi endotel organ target.
Abnormalitas Proses Plasentasi
Dalam kehamilan fisiologis, terjadi proses pseudovaskularisasi di mana sel-sel trofoblas invasif (invasive cytotrophoblast) menginvasi tunika media arteri spiralis maternal dan berdiferensiasi untuk menggantikan endotel arteri spiralis. Proses tersebut menjadikan arteri spiralis berkapasitas lebih besar dengan resistensi yang lebih rendah, sehingga bisa mencukupi nutrisi fetus. Proses remodelling tersebut terjadi pada trimester pertama kehamilan dan diperkirakan selesai pada minggu ke-18 sampai ke-20.[5]
Terdapat banyak molekul seperti sitokin, matriks ekstraselular, metalloproteinase, dan kompleks histokompatibilitas mayor (MHC) kelas Ib yang terlibat dalam diferensiasi trofoblas. Pada preeklampsia, molekul-molekul tersebut tidak diekspresikan seperti semestinya, sehingga terjadi kegagalan invasi sel trofoblas ke arteri spiralis.
Selain itu, kegagalan transformasi sel trofoblas dari subtipe proliferatif menjadi trofoblas invasif juga berperan dalam kegagalan remodelling arteri spiralis. Proses remodelling yang tidak sempurna menyebabkan arteri spiralis menjadi lebih sempit dan tidak elastis, sehingga menyebabkan iskemia relatif pada plasenta.[3,5]
Kondisi iskemia merangsang ekspresi hypoxia-inducible factors (HIF). Penelitian pada tikus yang sedang hamil menunjukkan bahwa overekspresi HIF-1α berkaitan dengan hipertensi, proteinuria, dan pertumbuhan janin terhambat. Selain itu, hipoksia akibat perfusi arteri spiralis yang buruk juga merangsang stres oksidatif yang menghasilkan reactive oxygen species (ROS).
Ketidakseimbangan Faktor Angiogenik
Stres oksidatif juga meningkatkan kadar faktor antiangiogenik seperti sFlt-1 (soluble fms-like tyrosine kinase-1). Protein tersebut mengikat dan mencegah aktivitas protein proangiogenik, seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dan placental growth factor (PIGF).
Kadar sFlt-1 ditemukan lebih tinggi pada pasien preeklampsia dengan gejala berat serta pada preeklampsia yang terdiagnosis pada usia kehamilan <34 minggu. Penelitian menunjukkan bahwa injeksi sFLT-1 endogen pada tikus menyebabkan hipertensi, proteinuria, dan glomerular endoteliosis.[3,5]
Pada kehamilan normal, plasenta memproduksi faktor proangiogenik berupa VEGF dan PIGF yang penting untuk pemeliharaan endotel, khususnya endotel terfenestrasi yang terletak pada organ-organ yang terdampak preeklampsia (otak, liver, dan glomerulus). Ketidakseimbangan faktor angiogenik menyebabkan disfungsi endotel.[3,5]
Abnormalitas pada Sistem Imun Maternal
Pada preeklampsia, disregulasi toleransi maternal terhadap antigen fetal dan plasenta yang mengandung komponen paternal diduga terjadi. Maladaptasi ini ditandai dengan defek hubungan antara sel natural killer (NK) uterus dengan human leukocyte antigen-C (HLA-C) fetal. Pada kehamilan normal, sistem imun maternal seharusnya dapat menoleransi alloantigen fetus.
Salah satu ciri khas pada kehamilan normal adalah polarisasi T helper 2 (Th2), di mana jumlah sel T helper 2 lebih mendominasi daripada T helper 1 (Th1). Fenotip Th1 yang mendominasi pada preeklampsia diperkirakan turut berkontribusi pada abnormalitas invasi trofoblas. Kelainan pada diferensiasi T helper yang terjadi pada preeklampsia disebabkan oleh penurunan sekresi interleukin (IL)-10. Pada preeklampsia, terdapat ketidakseimbangan proporsi IL-10 dan sitokin proinflamasi.[3,5]
Perubahan pada Sistem Organ Maternal
Mekanisme di atas menyebabkan terjadinya berbagai perubahan pada sistem organ. Berikut adalah beberapa perubahan sistem organ yang ditemukan pada preeklampsia.
Perubahan Sistem Vaskular
Pada kehamilan normal, umumnya terjadi hipervolemia. Namun, pada preeklampsia, hemokonsentrasi yang disertai penurunan tekanan onkotik intravaskular justru lebih sering ditemukan. Pada preeklampsia, vasospasme hebat akibat interaksi dari berbagai molekul vasoaktif juga terjadi.[1]
Perubahan Hematologi
Perubahan hematologi lebih sering ditemukan pada preeklampsia dengan gejala berat, terutama pada sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelets). Trombositopenia terjadi akibat peningkatan aktivasi, agregasi, serta konsumsi platelet. Jumlah platelet <150 x 109/L merupakan penanda keparahan penyakit serta kerusakan liver signifikan. Hemolisis ditandai dengan konsentrasi LDH atau lactate dehydrogenase >600 IU/L.[1]
Perubahan Sistem Hepatik
Gangguan fungsi liver berkaitan dengan nekrosis periportal yang menyebabkan peningkatan kadar aspartate transaminase (AST). Peningkatan konsentrasi LDH juga menandakan iskemia dan/atau nekrosis jaringan liver. Gangguan fungsi liver juga bermanifestasi sebagai abnormalitas prothrombin time, partial prothrombin time, dan fibrinogen.[1]
Perubahan Sistem Renal
Secara histopatologis, perubahan renal pada preeklampsia dideskripsikan sebagai endoteliosis glomerular di mana terdapat pembengkakan sel endothelial dan mesangial. Selain itu, ada juga protein hasil reabsorbsi filtrasi glomerular yang terdeposit pada subendotel dan ada tubular cast.
Proteinuria terjadi akibat peningkatan permeabilitas tubular terhadap protein dengan ukuran besar, seperti albumin, globulin, transferrin, dan hemoglobin. Vasospasme pada preeklampsia menyebabkan retensi air dan sodium, serta oliguria. Kadar asam urat juga dapat meningkat sebagai konsekuensi peningkatan produksi asam urat dari fetus dan plasenta serta penurunan ekskresi asam urat pada urine.[1]
Konsekuensi pada Fetus
Gangguan sirkulasi uteroplasenta menurunkan aliran darah ibu ke janin. Hal ini dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan janin, oligohidramnion, abruptio plasenta, serta gawat janin.[1]