Penatalaksanaan Preeklampsia
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah kontrol tekanan darah yang adekuat serta pencegahan kejang atau eklampsia. Persalinan atau terminasi kehamilan adalah satu-satunya penatalaksanaan definitif preeklampsia. Namun, tata laksana juga sangat ditentukan oleh kondisi klinis ibu dan janin, khususnya usia kehamilan, progresivitas penyakit, serta kesejahteraan janin. Dalam tata laksana, dokter hendaknya selalu mempertimbangkan manfaat dan risiko baik pada ibu maupun janin.[1,6]
Tata Laksana Konservatif
Tata laksana konservatif (expectant management) bertujuan untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatus serta memperpanjang usia gestasi tanpa membahayakan ibu. Tata laksana konservatif dapat direkomendasikan untuk pasien preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia kehamilan <37 minggu atau pasien preeklampsia dengan gejala berat dan usia kehamilan <34 minggu.[7]
Rawat jalan dapat dilakukan untuk pasien preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia kehamilan preterm (<37 minggu), dengan catatan harus ada observasi ketat terhadap kondisi ibu dan janin. Pemantauan bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya komplikasi atau perburukan preeklampsia. Idealnya, pengukuran tekanan darah ibu dilakukan 2 kali/minggu, sementara pemeriksaan laboratorium (nilai trombosit, fungsi ginjal, serta enzim liver) diperiksa tiap minggu.
Kesejahteraan janin dipantau dengan USG serial untuk menilai pertumbuhan janin dan volume air ketuban. Jika ada hambatan pertumbuhan janin, dokter dapat melakukan pemeriksaan Doppler untuk menilai aliran darah arteri umbilikus. Frekuensi pemeriksaan dapat berbeda pada tiap pasien tergantung indikasi dan kondisi klinis.[1,7]
Pasien preeklampsia dengan gejala berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap selama menjalani perawatan konservatif. Selain itu, perawatan sebaiknya dilakukan di fasilitas kesehatan yang memiliki perawatan intensif maternal dan neonatal. Selama perawatan konservatif, pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin.[7]
Tata laksana konservatif dapat dilakukan sampai usia kandungan mencapai 37 minggu pada pasien preeklampsia tanpa gejala berat atau sampai 34 minggu pada pasien preeklampsia dengan gejala berat. Syaratnya adalah tidak ada perburukan kondisi ibu dan janin, tidak ada tanda persalinan preterm, dan tidak ada ketuban pecah dini.[1,7]
Persalinan atau Terminasi Kehamilan
Persalinan merupakan tata laksana definitif dari preeklampsia. Berikut ini adalah kondisi di mana persalinan lebih direkomendasikan daripada tata laksana konservatif:
- Usia kehamilan ≥37 minggu
- Usia kehamilan ≥34 minggu pada preeklampsia dengan gejala berat, ada tanda persalinan atau ketuban pecah dini, hambatan pertumbuhan janin, dan abruptio plasenta
- Ada kontraindikasi maternal untuk perawatan konservatif: hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat, gejala berat yang persisten, eklampsia, sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low platelets), edema paru, stroke, infark miokard, disseminated intravascular coagulation, dan abruptio plasenta
- Ada kontraindikasi fetus untuk perawatan konservatif: gawat janin, deselerasi variabel dan hasil lambat pada non-stress test, profil biofisik <4, reversed end diastolic flow pada Doppler arteri umbilikalis, abruptio plasenta, oligohidramnion persisten, intrauterine fetal death (IUFD), dan janin tidak viabel[1,6,7]
Persalinan diupayakan untuk dilakukan sesegera mungkin setelah kondisi ibu stabil. Persalinan sebaiknya tidak ditunda dengan alasan pemberian steroid pada kasus-kasus di atas. Cara persalinan pervaginam tetap diutamakan kecuali jika terdapat indikasi obstetri lain untuk sectio caesarea. Pada usia kehamilan preterm yang ekstrem, sectio caesarea darurat bisa segera dilakukan bila kehamilan tak bisa dipertahankan.[1,6,17]
Tata Laksana Hipertensi
Pemberian obat antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat di mana tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan/atau diastolik≥ 110 mmHg. Tujuannya adalah untuk mencapai target tekanan darah sistolik <160 mmHg dan diastolik <110 mmHg serta mencegah komplikasi serebrovaskular pada ibu.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian obat antihipertensi berpotensi menyebabkan pertumbuhan janin terhambat akibat efek negatif pada perfusi uteroplasenta. Maka dari itu, penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap dan tidak >25% penurunan tekanan arteri rata-rata dalam 1 jam.[7]
Antihipertensi pilihan utama adalah nifedipine short-acting peroral serta hidralazin dan labetalol parenteral. Karena hidralazin dan labetalol parenteral tidak tersedia di Indonesia, nitrogliserin dan metildopa sebagai alternatif dapat diberikan.[7,17]
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥170 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg, nifedipine 10–20 mg peroral dapat diberikan dan diulang tiap 30–45 menit sampai dosis maksimal 40 mg. Selanjutnya, untuk dosis pemeliharaan, gunakan nifedipine lepas lambat dengan dosis 20–60 mg, 1–2 kali sehari, dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Untuk metildopa, dosis yang direkomendasikan adalah 250–750 mg, 2–3 kali sehari, dengan dosis maksimal 2 gram/hari.[17,18]
Profilaksis Kejang
Prinsip utama pencegahan kejang (eklampsia) adalah terminasi kehamilan. Magnesium sulfat merupakan obat pilihan utama sebagai profilaksis kejang pada pasien dengan preeklampsia berat. Terdapat banyak studi yang menunjukkan bahwa magnesium sulfat secara signifikan menurunkan angka kejadian eklampsia pada pasien preeklampsia dengan gejala berat.
Magnesium sulfat lebih dipilih daripada diazepam maupun fenitoin. Namun, fenitoin dan golongan benzodiazepine tetap dapat digunakan sebagai alternatif profilaksis kejang apabila terdapat kontraindikasi terhadap magnesium sulfat.[1,7]
Magnesium sulfat diberikan secara intravena dan dilarutkan dalam cairan salin fisiologis dengan dosis inisial (loading dose) 4–6 gram selama 20–30 menit. Lalu, lanjutkan dengan dosis rumatan 1–2 gram/jam. Durasi pemberian magnesium sulfat dimulai dari sebelum waktu persalinan sampai dengan 24 jam pascasalin.
Jika tidak ada akses intravena, magnesium sulfat dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis inisial 5 gram masing-masing pada gluteus kanan dan kiri dan dilanjutkan dengan pemberian 5 gram tiap 4 jam selama 24 jam. Pemberian magnesium sulfat sebisa mungkin tidak menunda tindakan persalinan.[1,4,7,17]
Selama pemberian magnesium sulfat, pantau laju pernapasan dan tekanan darah tiap 30 menit, denyut nadi dan produksi urine tiap 1 jam, dan refleks patella setelah dosis inisial dan tiap 2 jam. Pemantauan kadar magnesium tidak dilakukan secara rutin dan hanya diindikasikan jika ada tanda toksisitas, yaitu laju respirasi <10 kali/menit, saturasi oksigen <92%, paralisis otot, dan refleks patella menghilang.
Jika terjadi toksisitas, pemberian magnesium sulfat segera dihentikan. Dokter memberi kalsium glukonas 10% secara intravena sebanyak 10 ml dalam 100 ml salin fisiologis selama 10–20 menit.[1,4]
Tata Laksana setelah Persalinan
Secara keseluruhan, kondisi klinis dan parameter laboratorium pasien preeklampsia umumnya membaik setelah persalinan. Namun, pada beberapa kasus, pemulihan dapat memanjang sampai beberapa hari pascasalin.
Hipertensi dapat bertahan sampai 3 bulan, sehingga masih diperlukan pemantauan dan penurunan dosis antihipertensi secara bertahap. Pasien yang mengalami preeklampsia berisiko mengalami rekurensi pada kehamilan berikutnya, sehingga diperlukan evaluasi dari dokter sebelum mempersiapkan kehamilan berikutnya.[18]