Penatalaksanaan Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
Penatalaksanaan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) bersifat suportif mencakup oksigen dan ventilasi, hidrasi, antipiretik, analgesik, serta antibiotik untuk superinfeksi bakteri. Hingga saat ini, belum ada terapi khusus yang dinilai bermanfaat pada terapi MERS.[3,9]
Untuk mencegah penyebaran, pasien yang dicurigai terinfeksi virus MERS-CoV harus dirawat di ruang isolasi agar tidak menginfeksi pasien lainnya. Pasien akan dimonitoring sampai hasil RT PCR terkonfirmasi negatif sebanyak 2 kali dan tidak lagi ditemukan tanda infeksi. Tenaga medis harus menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari terjangkit infeksi menular MERS saat merawat pasien.[3,9]
Terapi Oksigen dan Ventilasi
Pasien MERS dengan pneumonia dapat diberikan terapi oksigen apabila ditemukan tanda-tanda severe acute respiratory infection (SARI), yaitu depresi nafas berat dan hipoksemia (SpO2 < 90%). Pemberian oksigen dimulai dari 5 L/menit, lalu dititrasi hingga SpO2 ≥90% pada orang dewasa yang tidak hamil, dan SpO2 ≥92-95% pada ibu hamil.
Pemberian oksigen 10-15 L/menit dengan Nonrebreathing Oxygen Face Mask, dan konsentrasi oksigen yang tinggi dapat dilakukan apabila SpO2 tetap turun walaupun telah diberikan oksigen 5L/menit. Apabila tetap tidak membaik, mungkin dapat terjadi tingginya fraksi shunt intrapulmonary, dapat di intubasi dan menggunakan ventilasi mekanis.
Terdapat 2 buah teknik pemberian ventilasi mekanik, ventilasi non-invasif, yaitu dengan memberikan ventilasi melalui masker dengan support, dan ventilasi invasif melalui penggunaan endotracheal tube atau trakeostomi.
Penggunaan ventilasi non-invasif dapat dilakukan apabila terdapat petugas medis yang terlatih dan harus dilakukan secara dini dan harus dipantau ketat di ICU. Apabila ventilasi non-invasif tidak berhasil, segera lakukan intubasi.[3,16]
Farmakoterapi
Farmakoterapi diberikan sesuai dengan indikasi pada pasien, meliputi antipiretik seperti paracetamol, antiemetik seperti ondansetron, ataupun mukolitik, antitusif, dan ekspektoran seperti N-acetylcysteine, dextromethorphan, guaifenesin, ambroxol apabila terdapat gejala ISPA pada pasien. Pada kasus yang lebih berat seperti syok sepsis, terapi cairan dan penggunaan vasopressor diberikan sesuai dengan pertimbangan klinis.[9]
Antibiotik tidak diberikan pada pasien MERS kecuali terdapat ko-infeksi bakterial. Pemberian kortikosteroid telah diteliti menghambat viral clerance dan antiviral seperti masih bersifat kontroversial karena lemahnya hasil penelitian yang ada.[10]
Hingga saat ini belum ada antiviral khusus untuk MERS, tetapi ribavirin dapat diberikan pada pasien MERS. Menurut studi kombinasi ribavirin dengan interferon-ɑ2b seperti peginterferon alfa-2B dapat menurunkan viral load. Akan tetapi, penggunaan ribavirin dan interferon sendiri juga memiliki efek samping, yaitu anemia hemolitik untuk ribavirin dan disfungsi myeloid untuk interferon. Selain itu, dosis ribavirin dan interferon yang digunakan belum terfiksasi, pemberiannya masih berdasarkan penelitian deskriptif.[9,22,23]
Pemberian vasopressor, seperti epinephrine, norepinephrine, dan dopamin dapat dilakukan apabila gejala syok berlanjut walau sudah diberikan resusitasi cairan.[16]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja