Diagnosis Benzodiazepine Use Disorder
Penegakan diagnosis benzodiazepine use disorder cukup sulit karena gejala susah dibedakan dengan gangguan cemas dan gangguan panik. Diagnosis benzodiazepine use disorder atau penyalahgunaan benzodiazepine perlu dicurigai pada pasien yang cenderung melakukan doctor shopping, yakni berkunjung ke banyak dokter untuk meminta resep benzodiazepine. Dasar penegakan diagnosis adalah kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5).[1-4]
Anamnesis
Pada umumnya, anamnesis dan pemeriksaan fisik harus mengevaluasi kriteria diagnostik penyalahgunaan benzodiazepine. Terdapat beberapa pokok anamnesis dari penyalahgunaan benzodiazepine yaitu anamnesis secara umum, anamnesis gejala putus zat, dan anamnesis gejala intoksikasi.
Anamnesis Tahap Awal
Pada anamnesis benzodiazepine use disorder tahap awal, yang ditanyakan adalah usia pertama kali, alasan menggunakan zat, dan jenis benzodiazepine yang digunakan. Dokter juga perlu mengidentifikasi kuantitas dan frekuensi penggunaan, termasuk jumlah terbanyak, efek subjektif pada tubuh, tanda ketergantungan, craving, jalur administrasi, aspek sosial dan tempat menggunakan. Tanyakan juga adanya periode tidak menggunakan zat, terapi yang pernah dijalani, dan riwayat penggunaan kronis.[1,3,11]
Anamnesis Gejala Putus Zat
Alprazolam banyak digunakan pada gangguan panik dan cemas. Karena waktu paruhnya yang pendek dan absorbsi yang cepat, alprazolam secara cepat mengurangi gejala. Namun hal ini juga mengakibatkan potensi penyalahgunaan yang besar karena lebih cepat menyebabkan adiksi. Gejala putus zat banyak ditemukan pada penyalahgunaan alprazolam.[4]
Gejala putus zat setelah penggunaan kronis benzodiazepine umumnya terjadi lebih cepat, terutama dengan obat masa kerja pendek, yaitu dalam 2-3 hari. Pada obat dengan kerja lebih panjang, gejala putus zat bisa terjadi dalam waktu lebih lama, sekitar 5-10 hari.
Gejala putus zat terkait penyalahgunaan benzodiazepine terbagi menjadi gejala fisik, psikologis, dan sensorik. Gejala fisik yang mungkin ditemukan adalah tegang otot, spasme, nyeri, gejala seperti influenza (berkeringat dan menggigil), sensasi seperti tertusuk (pins and needle), penurunan nafsu makan, takikardia, pandangan kabur, mulut kering, tinnitus, mengantuk hingga kejang. Kejang bisa terjadi ketika pemakaian benzodiazepine dihentikan secara mendadak.
Gejala psikologis yang sering terjadi adalah kecemasan, panik, gelisah, agitasi, depresi, perubahan mood yang cepat, gejala psikovegetatif (misalnya tremor), penurunan konsentrasi, gangguan tidur dan mimpi buruk. Paranoid, halusinasi, depersonalisasi, dan delirium dapat terjadi pada kondisi yang berat.[6]
Anamnesis Intoksikasi
Penggunaan benzodiazepine dalam dosis besar jarang menyebabkan toksisitas apabila tidak dikonsumsi bersamaan dengan depresan lain. Pasien dengan intoksikasi benzodiazepine umumnya masih sadar penuh dengan tanda vital yang cenderung normal. Dosis toksik dari benzodiazepine sulit ditentukan dengan baik karena bergantung pada usia, berat badan, genetik, dan toleransi pasien. Oleh karena itu, penggalian riwayat mengenai penggunaan zat sebelumnya penting dilakukan secara komprehensif.[5]
Gejala intoksikasi pada penggunaan benzodiazepine berdasarkan kriteria diagnostik DSM-5 meliputi bicara kacau (slurred speech), inkoordinasi, ketidakseimbangan dalam berjalan, nistagmus, gangguan kognitif (misalnya atensi dan memori), hingga yang berat adalah koma. Selain itu, mungkin juga didapatkan perubahan pada psikologis pasien, misalnya gangguan perilaku seksual, mood labil, dan gangguan dalam pertimbangan. Gangguan daya ingat adalah gejala intoksikasi benzodiazepine yang paling banyak ditemukan. Amnesia terjadi secara anterograd, menyerupai amnesia pada pasien intoksikasi alkohol.[6]
Anamnesis Lain-Lain
Faktor psikososial dapat mempengaruhi perilaku penyalahgunaan zat pada pasien. Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan terkait faktor ini adalah situasi keluarga, bagaimana pertemanan pasien, penggunaan zat selain benzodiazepine, dan riwayat penyakit fisik.[6]
Riwayat penggunaan benzodiazepine bisa mengindikasikan penyalahgunaan zat, misalnya berganti-ganti dokter dan memanipulasi untuk mendapatkan obat lebih banyak. Lebih lanjut, beberapa perilaku pasien yang mengindikasikan penyalahgunaan adalah mencuri atau meminjam resep pasien lain, menginjeksi obat sediaan oral, mendapatkan obat dari sumber non medis, riwayat menyalahgunakan zat lain, meningkatkan dosis sendiri, dan melaporkan kehilangan resep terus menerus.[3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari benzodiazepine use disorder adalah penyalahgunaan zat lainnya, gangguan psikiatri, serta gangguan fisik yang menyebabkan peningkatan tonus simpatik.
Alcohol Use Disorder
Gambaran klinis pada pasien dengan penyalahgunaan benzodiazepine mungkin mirip dengan intoksikasi dari depresan lainnya, misalnya alkohol. Banyak pasien yang menyalahgunakan alkohol juga menyalahgunakan benzodiazepine. Salah satu perbedaan intoksikasi alkohol adalah bau alkohol pada napas pasien.[1]
Gejala putus zat akibat alkohol juga menyerupai gejala putus zat pada benzodiazepine. Untuk membedakan kedua kondisi ini, penting bagi klinisi untuk melakukan anamnesis yang komprehensif mengenai riwayat penggunaan zat pasien. Gangguan fungsi hati dan kardiomiopati cenderung lebih sering terjadi pada gejala putus zat akibat alkohol.[6]
Gangguan Psikiatri
Diagnosis banding lainnya adalah diagnosis psikiatri sebagai gangguan primer yang menyebabkan pasien menggunakan benzodiazepine secara kronik, misalnya gangguan cemas, gangguan mood, atau schizophrenia.[1,6]
Gangguan Fisik yang Menyebabkan Peningkatan Tonus Simpatik
Gangguan lain yang bisa dijadikan diagnosis banding adalah gangguan fisik yang menyebabkan peningkatan tonus simpatik, misalnya hipertiroidisme, tirotoksikosis, atau pheochromocytoma.[1,6]
Kondisi Medis Umum
Gejala dari putus zat benzodiazepine mungkin menyerupai kondisi medis lain, misalnya hipoglikemia dan ketoasidosis diabetik. Kejang pada putus zat benzodiazepine bisa didapatkan juga pada beberapa kondisi lain, seperti infeksi atau trauma kepala. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu ditanyakan riwayat demam atau trauma.[6]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat membantu membedakan benzodiazepine use disorder dengan diagnosis bandingnya.[7]
Pemeriksaan Substance Use Disorder
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan yang mencakup deteksi zat dalam darah atau urine pasien, misalnya opioid, amfetamine, kokain, ganja, dan benzodiazepine. Hal ini karena pasien sering menyalahgunakan lebih dari satu zat.[7]
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan glukosa darah, pemeriksaan fungsi hepar, fungsi ginjal, rapid test untuk HIV, pemeriksaan untuk hepatitis B dan hepatitis C, serta pemeriksaan untuk tuberkulosis. Pasien yang menyalahgunakan benzodiazepine juga berisiko mengalami infeksi karena penggunaan injeksi yang tidak aman. Pemeriksaan glukosa darah penting untuk menyingkirkan hipoglikemia yang juga bisa menyebabkan penurunan kesadaran.[6,7]
Pemeriksaan Urine
Interpretasi dari pemeriksaan urine perlu dilakukan secara hati-hati. Pemeriksaan tidak bisa membedakan benzodiazepine yang dikonsumsi dan hasil metabolitnya. Contohnya temazepam dan oxazepam merupakan metabolit dari diazepam, dan kedua zat ini mungkin terdeteksi pada pemeriksaan, yang membuat klinisi dapat mencurigai pasien menggunakan lebih dari satu zat.[12]
Elektrokardiografi
Elektrokardiografi perlu dilakukan untuk menyingkirkan penggunaan obat yang bisa memanjangkan segmen QT dan menyebabkan aritmia.[5]
CT Scan Kepala
CT scan kepala mungkin diperlukan pada pasien yang datang dengan penurunan kesadaran untuk menyingkirkan kelainan intrakranial.[5]
Kriteria Diagnosis DSM-5
Berdasarkan kriteria dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), adiksi benzodiazepine termasuk dalam klasifikasi gangguan penggunaan sedatif, hipnotik, dan ansiolitik. Substance use disorder didiagnosis ketika penggunaan zat menyebabkan gangguan klinis atau distress yang signifikan, yang ditunjukkan oleh setidaknya dua dari gejala-gejala berikut dalam periode 12 bulan terakhir:
- Menggunakan zat dalam jumlah yang makin lama makin banyak atau waktu penggunaannya lebih panjang daripada yang dimaksudkan sebelumnya,
- Ada keinginan yang persisten atau upaya yang gagal untuk menurunkan atau menghentikan penggunaan,
- Menghabiskan banyak waktu dalam aktivitas untuk mendapatkan, menggunakan, atau untuk pulih dari penggunaan zat,
Craving atau keinginan yang kuat atau dorongan untuk menggunakan zat,
- Penggunaan zat yang berulang menyebabkan kegagalan dalam melakukan kewajiban di tempat kerja, sekolah, atau rumah (misalnya absen dari tempat kerja atau penurunan kinerja akibat penggunaan zat; absen, skorsing, atau bahkan dikeluarkan dari sekolah; menelantarkan anak atau rumah tangganya),
- Tetap meneruskan penggunaan zat, meskipun mengalami masalah yang persisten atau berulang dalam hubungan sosial atau interpersonal, yang disebabkan atau diperburuk oleh penggunaan zat
- Tidak mau atau mengurangi berbagai aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional penting akibat penggunaan zat
- Terus menggunakan zat, bahkan dalam situasi yang membahayakan secara fisik (misalnya ketika sedang mengendarai mobil, mengoperasikan alat berat)
- Terus menggunakan zat, meskipun mengalami masalah fisik dan psikologik persisten atau berulang, yang disebabkan atau diperburuk oleh penggunaan zat. Timbulnya toleransi, yang bermanifestasi sebagai: (a) Meningkatkan jumlah pemakaian untuk mendapatkan efek yang sama dengan sebelumnya; (b) Efek pemakaian yang semakin menurun dengan penggunaan zat pada dosis yang sama. Kriteria ini tidak bisa dipergunakan bila penggunaan sedatif, hipnotik, atau ansiolitik dilakukan di bawah pengawasan dokter,
- Didapatkan gejala-gejala putus zat
Secara tingkat keparahan, klasifikasi penyalahgunaan zat adalah:
- Gangguan ringan (2-3 kriteria)
- Gangguan sedang (4-5 kriteria)
- Gangguan berat (≥6 kriteria)[6]
Penulisan pertama oleh: dr. Irwan Supriyanto PhD SpKJ