Diagnosis Pneumonia Nosokomial
Diagnosis pneumonia nosokomial atau hospital-acquired pneumonia (HAP) berdasarkan gejala dan tanda infeksi saluran napas bawah yang terjadi >48 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Pneumonia nosokomial dibagi menjadi early-onset yang timbul <5 hari setelah masuk rumah sakit, dan late-onset atau >5 setelah masuk rumah sakit. Pemeriksaan radiologis bukan sebagai dasar dalam diagnosis, bila tanpa didukung gejala klinis lainnya.[1]
Anamnesis
Gejala pneumonia nosokomial bervariasi dari derajat ringan hingga berat. Pada early-onset, keluhan pasien umumnya sama dengan gejala pneumonia komunitas, yaitu:
- Demam, berkeringat, menggigil
- Batuk produktif dengan sputum berwarna kuning atau kehijauan
- Sesak napas
- Nyeri dada ketika bernafas atau batuk, yang merupakan manifestasi pada pleura
- Kelelahan (fatigue)
- Mual, muntah, diare[1,5]
Derajat keparahan ditentukan oleh patogen penyebab, usia dari pasien, dan status kesehatan dari pasien. Penting untuk ditanyakan penggunaan antibiotik sebelumnya untuk mencurigai kemungkinan penyebab patogen yang multiresisten.[1,5]
Gejala yang muncul dapat tidak spesifik pada usia rentan, yaitu pada bayi dan lansia. Pada neonatus dan bayi <2 tahun, gejala yang tampak biasanya demam, muntah, demam, batuk, lemah, dan kesulitan bernafas.[1,5]
Pada lansia >65 tahun, gangguan kesadaran dan perubahan status mental dapat ditemukan. Selain itu, penurunan suhu tubuh di bawah normal dapat terjadi pada lansia dengan gangguan imunitas seperti pasien dengan kemoterapi, obat-obatan yang menekan imun, dan komorbiditas.[1,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pneumonia nosokomial meliputi tanda-tanda inflamasi, seperti febris, takikardi, takipnea, disertai tanda-tanda hipoksia. Pada pemeriksaan fisik toraks dapat ditemukan ekspansi dari dada yang asimetris, di mana sisi yang sakit tertinggal. Pada auskultasi, didapatkan suara napas tambahan ronki (rales/crackles), egofoni, dan whispered pectoriloquy.[1,5,13]
Diagnosis Banding
Pneumonia nosokomial dapat didiagnosis banding dengan edema paru, sindrom distress pernafasan akut, efusi pleura, emboli paru, atelektasis, pendarahan paru, dan tumor paru.
Edema Paru Kardiogenik
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh gagal jantung, dengan gejala sesak napas dan batuk dengan dahak merah muda berbusa. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan dispnea, takipnea, peningkatan tekanan vena jugular, auskultasi suara jantung S3 gallop, suara napas tambahan ronki yang halus, dan edema perifer. Pemeriksaan penunjang dapat membantu diagnosis edema paru kardiogenik.[9,13]
Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan kelainan seperti infark miokardium, iskemia , atau hipertrofi ventrikel yang dapat menjadi kausa dari edema paru. Pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan kardiomegali, diversi lobus superior, adanya cairan pada fisura, efusi pleura, dan edema alveolar atau interstitial.[9,13]
Pada pneumonia nosokomial, ditemukan tanda-tanda infeksi seperti demam, batuk dengan sputum, disertai sesak nafas yang tidak ditemukan pada edema paru kardiogenik. Adanya konkomitan pneumonia nosokomial dengan efusi atau edema menyebabkan sulitnya membedakan keduanya. Pemeriksaan tambahan seperti B-type natriuretic dan ekokardiografi mungkin diperlukan.[9,13]
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Pada ARDS, ditemukan dispnea dan takipnea sebelum dilakukan intubasi, tetapi tidak ditemukan keluhan demam yang dapat menjadi salah satu pembeda ARDS dan pneumonia nosokomial. Keadaan hipoksia pada ARDS terjadi secara progresif dan berat, yaitu gejala sesak nafas ringan kemudian memberat dalam waktu 12‒24 jam hingga memerlukan ventilasi mekanik.[10,13]
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipnea, peningkatan usaha untuk bernafas, serta tanda-tanda hipoksia sistemik seperti sianosis sistemik atau perifer. Pemeriksaan laboratorium analisa gas darah memberikan hasil PF ratio (PaO2/FiO2) kurang dari 200. Pemeriksaan rontgen toraks dapat ditemukan volume paru yang mengecil akibat mikroatelektasis.[10]
Efusi Pleura
Pasien dengan efusi pleura dapat ditemukan asimptomatik atau gejala batuk berat, tergantung derajat efusi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda pleuritis, yakni nyeri dada yang tajam, berat, terlokalisir, yang dipengaruhi oleh proses bernafas atau batuk. Pemeriksaan CT scan toraks mungkin diperlukan untuk membedakan cairan dari paru atelektasis.[11,13]
Efusi pleura pada umumnya merupakan komplikasi dari penyakit dasar, oleh karena itu anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap penyakit dasar diperlukan dalam mendiagnosis.[11]
Emboli Paru
Onset sesak nafas pada emboli paru bersifat akut, disertai hipoksia dan hipokapnia. Sering disertai nyeri dada pleuritis yang disebabkan iritasi pleura akibat infark pulmonal oleh emboli distal. Faktor risiko emboli paru seperti tromboembolisme vena merupakan hal penting dalam memperkirakan diagnosis emboli paru. Pada pemeriksaan CT scan spiral dapat ditemukan emboli perifer.[12,13]
Atelektasis
Gejala atelektasis tidak spesifik, jarang ditemukan adanya hipoksia, demam, maupun produksi sputum. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis. Pemeriksaan foto toraks ditemukan adanya opasitas dengan batas jelas.[13]
Pendarahan Paru/Alveolar
Gejala pendarahan paru berupa hemoptisis, disertai instabilitas hemodinamik akut. Gejala non spesifik lain seperti batuk, sesak, dan nyeri dada. Adanya riwayat sindrom Goodpasture mendukung diagnosis penyakit ini.[13]
Tumor Paru
Gejala tumor paru serupa dengan pneumonia, tetapi onset gejala lebih panjang hingga beberapa minggu. Pemeriksaan radiografi terlihat gambaran neoplasma dan kemungkinan lesi metastatik pada jaringan lain.[13]
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu mendiagnosis pneumonia nosokomial. Terutama kultur sputum dan darah, serta pemeriksaan molekuler PCR. Rontgen toraks tidak digunakan sebagai dasar diagnosis, karena pada pasien dengan ventilator dapat memberikan gambaran yang tidak jelas.
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran rontgen toraks yang mendukung pneumonia nosokomial di antaranya infiltrat alveolar, air bronchogram, dan gambaran infiltrat baru atau perburukan dari infiltrat sebelumnya. Banyaknya penyebab kelainan pada foto toraks, terutama pada pasien dengan ventilator, menyebabkan abnormalitas foto toraks tidak dapat secara signifikan dijadikan dasar diagnosis. Manifestasi klinis merupakan hal yang penting untuk mendukung gambaran abnormalitas pada foto toraks sebagai skrining awal pneumonia nosokomial.[5]
Kultur Sputum
Pemeriksaan kultur sputum direkomendasikan pada pasien pneumonia nosokomial yang mampu mengeluarkan sampel sputum yang adekuat, yakni sampel dengan sedikit sel epitelium skuamosa pada pewarnaan gram. Pada pasien tanpa ventilator, sampel dari saluran nafas bagian bawah didapatkan melalui ekspektorasi spontan, induksi sputum, maupun nasotracheal suctioning.[1,3]
Pada pasien dengan ventilator-associated pneumonia (VAP), pengambilan sampel untuk pemeriksaan kultur kuantitatif dapat berasal dari blind tracheobronchial aspiration (TBAS), bronchoscopy with bronchoalveolar lavage (BAL), atau protected specimen brush (PSB).[1,3]
Pemeriksaan invasif dipertimbangkan pada pasien imunodefisiensi, pasien yang mengalami perburukan meski telah mendapat antibiotik yang sesuai, atau pasien yang tidak ditemukan patogen pada pemeriksaan noninvasif.[1,3]
Kultur Darah
Pemeriksaan kultur darah direkomendasikan pada semua pasien dengan pneumonia nosokomial. Sekitar 15% pasien ventilator-associated pneumonia (VAP) mengalami bakteremia, sehingga pemeriksaan ini penting untuk menentukan patogen penyebab yang tidak teridentifikasi pada kultur sputum. Kultur darah bernilai spesifik bila patogen respiratorik ditemukan pada hasil kultur, tetapi pemeriksaan ini kurang sensitif. Kultur darah juga bermanfaat untuk mengidentifikasi infeksi sekunder yang menyertai pneumonia.[1,3]
Pemeriksaan Molekuler PCR
Saat ini, ketersediaan pemeriksaan PCR molekuler (polymerase chain reaction) terbatas kecuali PCR untuk COVID-19. Pemeriksaan PCR dapat mendeteksi bakteri patogen respirasi dan gen yang bertanggung jawab pada resistensi, sehingga dapat membantu memilih antibiotik yang lebih tepat.[1]
Pemeriksaan PCR dengan swab nasal untuk mengeksklusi Staphylococcus aureus memberikan hasil sensitivitas 85% dan spesifitas 92% pada kasus pneumonia nosokomial. Hasil negatif dapat menjadi dasar penghentian antibiotik untuk MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus).[1]
Selain itu, pemeriksaan PCR juga digunakan untuk mengidentifikasi penyebab virus yang tidak memerlukan terapi antibiotik. Respiratory syncytial virus, parainfluenza virus, dan rhinovirus merupakan penyebab tersering dari pneumonia nosokomial.[1]
Pemeriksaan Procalcitonin
Pemeriksaan procalcitonin membantu untuk membedakan patogen penyebab viral atau bakterial. Infeksi bakterial tipikal memicu keluarnya sitokin yang merangsang produksi procalcitonin, sedangkan interferon yang dihasilkan pada infeksi virus menekan produksi biomarker ini.[1]
Penggunaan procalcitonin dalam menentukan terapi dari pneumonia masih dalam studi. Saat ini biomarker ini belum dapat menggantikan diagnosis klinis dalam menentukan inisiasi dari antibiotik.[1]
Direvisi oleh: dr. Andrea Kaniasari