Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial
Penatalaksanaan pneumonia nosokomial atau hospital-acquired pneumonia (HAP) terdiri dari terapi awal dengan antibiotik empiris, terapi lanjutan dengan antibiotik definitif, dan de-eskalasi. Antibiotik empiris harus segera diberikan, terutama pada pasien dengan tanda syok septik atau disfungsi organ progresif cepat. Sedangkan antibiotik definitif diberikan setelah ada hasil kultur sputum atau darah.[1,5,6]
Terapi Awal dengan Antibiotik Empiris
Pemilihan antibiotik empiris yang tepat menentukan mortalitas pneumonia nosokomial. Terdapat beberapa pedoman dalam pemilihan antibiotik empiris, yang pada dasarnya disesuaikan dengan faktor penyebaran patogen dan tingkat sensitivitasnya, faktor risiko pasien, dan faktor risiko lingkungan.[2,6]
Faktor Penyebaran Patogen
Faktor penyebaran patogen berasal dari data antibiogram atau peta mikrobiologis lokal masing-masing rumah sakit. Sebaiknya rumah sakit secara rutin melakukan pencatatan berdasarkan hasil pemeriksaan kultur pasien infeksi nosokomial, termasuk pasien pneumonia nosokomial serta ventilator-associated pneumonia (VAP).[5]
Faktor Risiko Pasien
Faktor risiko pasien di antaranya durasi rawat inap, durasi ventilasi mekanik, riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya, riwayat kultur sebelumnya, dan kondisi imunodefisiensi. Pasien dengan faktor risiko rendah umumnya memerlukan terapi empiris spektrum sempit, sedangkan pasien dengan faktor risiko tinggi memerlukan antibiotik spektrum lebih luas bahkan kombinasi beberapa antibiotik.[2,6]
Risiko tinggi pada pasien meliputi syok sepsis, riwayat MDR (multidrug resistance), dan penggunaan antibiotik sebelumnya terutama antibiotik intravena dalam 90 hari terakhir. Selain itu, durasi dirawat lebih dari 5 hari terutama di unit intensif dan pasien menggunakan ventilator.[2,3,5,6]
Pilihan Antibiotik Empiris untuk Pasien Nonventilator
Antibiotik untuk pasien dengan dugaan pneumonia nosokomial harus memiliki aktivitas terhadap Staphylococcus aureus. Dasar pemilihan antibiotik empiris juga berdasarkan faktor risiko MRSA atau risiko mortalitas tinggi. Rekomendasi antibiotik empiris untuk pneumonia nosokomial nonventilator terdiri dari kelompok A, B, dan C.[5]
Tabel 1. Pilihan Antibiotik Empiris untuk Pasien Nonventilator
Pada kelompok B dan C, jika kombinasi dua antibiotik maka dipilih yang memiliki aktivitas terhadap P. aeruginosa, serta hindari penggunaan dua golongan β-lactam. Pilihan antibiotik kombinasi di antaranya:
Vancomycin: dosis 15 mg/kg IV setiap 6‒12 jam, dengan target 15‒20 mg/mL through level, dan dapat dipertimbangkan pemberian loading dose 25‒30 mg/kg sekali untuk pneumonia nosokomial derajat berat
Linezolid: dosis 600 mg setiap 12 jam[5]
Untuk kelompok C, bila antibiotik dengan aktivitas MRSA tidak digunakan maka antibiotik yang sensitif terhadap S.aureus wajib diberikan, seperti piperacillin tazobactam, cefepime, levofloxacin, imipenem, dan meropenem. Bila obat-obatan tersebut tidak didapatkan, maka oxacillin, nafcillin, dan cefazolin dapat dipertimbangkan.[5]
Adanya kelainan struktural penyakit paru, seperti bronkiektasis atau cystic fibrosis, dapat meningkatkan risiko infeksi terhadap gram negatif, dengan predominan bakteri basil gram negatif. Pada kondisi tersebut, pemberian dual antibiotik dengan aktivitas antipseudomonas direkomendasikan, baik untuk pneumonia nosokomial maupun ventilator-associated pneumonia (VAP).[5,6]
Sebuah studi cohort di Eropa menegaskan pentingnya perhatian khusus pada pasien dengan imunodefisiensi, cystic fibrosis, empyema/abses paru, kavitasi, atau necrotizing pneumonia. Rekomendasi terapi mungkin memerlukan perubahan sesuai kondisi dari pasien. Penggunaan antibiotik anaerob akibat aspirasi bukan merupakan hal mutlak. Pada 48 jam pertama setelah masuk rumah sakit, kolonisasi orofaring dan selang endotrakeal didominasi oleh flora nosokomial gram negatif.[5,6]
Terapi Lanjutan dengan Antibiotik Definitif
Setelah pemberian terapi antibiotik empiris, evaluasi dilakukan untuk mengetahui respons terapi dan menentukan tata laksana lanjutan. Terapi antibiotik lanjutan sebagai berikut:
- Bila hasil kultur telah mengidentifikasi patogen kausatif, maka pemberian antibiotik dipersempit sesuai hasil dari sensitivitas patogen
- Bila pasien telah mengalami perbaikan klinis dan tidak teridentifikasi patogen pada hasil kultur, maka antibiotik empiris dengan aktivitas terhadap aureus, MDR, dan basil gram negatif dapat dihentikan dalam 48‒72 jam
- Bila pasien tidak membaik dalam 72 jam setelah diberikan antibiotik empiris, maka perlu evaluasi adanya komplikasi yang menyertai, infeksi di tempat lain, atau diagnosis alternatif. Pemeriksaan kultur tambahan dan penambahan antibiotik terhadap bakteri resisten perlu dipertimbangkan[5]
Durasi pemberian antibiotik untuk pneumonia nosokomial pada umumnya selama 7 hari untuk mencegah resistensi. Durasi yang lebih lama mungkin diperlukan pada penyakit derajat berat, bakteremia, respons lambat terhadap terapi, imunodefisiensi, dan terdapat komplikasi seperti abses paru. Pasien yang terinfeksi P. aeruginosa membutuhkan terapi sekitar 14‒21 hari.[5,6]
De-eskalasi Terapi Antibiotik
De-eskalasi terapi diperlukan terutama pada pasien yang mendapatkan antibiotik lebih dari 7 hari. De-eskalasi sangat penting untuk mengurangi penggunaan antibiotik yang berlebihan dan potensi efek samping. De-eskalasi harus sudah dipertimbangkan sejak 48‒72 jam terapi empiris, dan harus berdasarkan hasil kultur dan respons klinis pasien terhadap pengobatan.[2,6]
De-eskalasi terapi dapat dilakukan dengan segera mengganti antibiotik ke spektrum yang lebih sempit, mengeliminasi antibiotik yang tidak diperlukan, dan perubahan antibiotik ke sediaan oral. Perubahan terapi dari intravena ke oral dapat dipertimbangkan bila hemodinamik stabil, tidak lagi memerlukan terapi oksigen, dan pasien mampu mentoleransi intake secara oral.[2,8]
Direvisi oleh: dr. Andrea Kaniasari