Patofisiologi Agenesis Renal
Patofisiologi agenesis renal atau agenesis ginjal terjadi pada masa organogenesis, yang dimulai sejak minggu ketiga kehamilan. Agenesis terjadi karena kegagalan penyatuan tunas ureter (ureteric bud) dan blastema metanefrik, sehingga nefron dan ureter tidak terbentuk.[2]
Organogenesis Ginjal
Perkembangan ginjal dimulai pada minggu ketiga dengan munculnya pronefros dari mesoderm intermediata. Duktus pronefros menginduksi pembentukan tubulus mesonefros pada akhir minggu keempat, dan kemudian menghilang, sementara duktus mesonefros (Wollfian) berkembang ke arah kaudal.
Duktus mesonefros bagian bawah membentuk tunas ureter sebagai respons terhadap sinyal induksi. Selanjutnya, tunas ureter mengalami percabangan dan segmentasi lebih lanjut untuk membentuk sistem duktus pengumpul dalam metanefros, dan kemudian berkembang menjadi ginjal yang matang.
Pada minggu ke-16 ketika sistem pengumpul atas dan bawah telah bergabung, janin mulai memproduksi urin, yang penting dalam menjaga keseimbangan cairan ketuban dan berperan dalam perkembangan paru-paru janin. Setiap perkembangan ini dikendalikan oleh faktor transkripsi spesifik. Adanya gangguan dalam ekspresi sinyal induksi tersebut menyebabkan gangguan perkembangan organ.[4]
Patogenesis Agenesis Renal
Agenesis renal terjadi karena kegagalan penyatuan tunas ureter (ureteric bud) dan blastema metanefrik, sehingga nefron dan ureter tidak terbentuk. Salah satu kelainan kromosomal yang mengakibatkan agenesis renal terisolasi yaitu RHDA2 (renal hypodysplasia/aplasia 2) yang disebabkan oleh mutasi homozigot pada gen FGF20.[2,5]
Gen FGF20 merupakan famili faktor pertumbuhan fibroblast yang mengontrol pertumbuhan sel embrionik dan morfogenesis selama masa perkembangan melalui aktivitas mitogenik dan menjaga kelangsungan hidup sel. Penelitian pada hewan uji menunjukkan bahwa FGF20 diekspresikan dalam progenitor nefron dan berperan penting pada perkembangan ginjal.[5]
Pada agenesis bilateral, ketiadaan ginjal mengganggu produksi urin selama perkembangan janin, yang berakibat pada oligohidramnion. Kekurangan cairan ketuban membatasi ruang gerak janin dan menyebabkan sindrom Potter, yang ditandai dengan wajah Potter facies, deformitas anggota tubuh, dan hipoplasia paru.
Sementara itu, pada agenesis unilateral, anak umumnya dapat bertahan hidup karena ginjal yang tersisa mengalami hipertrofi kompensatori. Meski demikian, risiko hipertensi dan penyakit ginjal kronis di kemudian hari meningkat.[2,5]