Pendahuluan Hepatitis B
Hepatitis B adalah infeksi hepar oleh virus hepatitis B (HBV) yang dapat bersifat akut maupun kronik. HBV dapat ditularkan dari ibu ke anak selama kelahiran dan persalinan, serta melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lain saat berhubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi, suntikan yang tidak steril, atau paparan instrumen tajam (needle stick injury).[1-3]
Gejala yang dapat muncul pada penderita hepatitis B adalah ikterus, urine berwarna gelap, kelelahan, mual, muntah, dan nyeri perut. Pasien juga bisa mengalami sindroma serum sickness-like, yaitu demam, ruam kulit, arthralgia, dan arthritis. Sindroma ini biasanya membaik ketika ikterus muncul.
Selain melalui gejala klinis, perlu juga dilakukan pemeriksaan serologi virus. Pemeriksaan serologi utama pada hepatitis B adalah hepatitis B surface antigen (HBsAg). Pemeriksaan ini bisa dilakukan dalam rentang 1-12 minggu setelah paparan. Pemeriksaan lain yang juga diperlukan adalah hepatitis B surface antibody (anti-HBs) dan total hepatitis B core antibody (anti-HBc). Dari pemeriksaan klinis tersebut, dokter perlu menentukan apakah pasien terinfeksi akut atau kronik, telah divaksinasi dan memiliki kekebalan terhadap hepatitis B, serta apakah rentan terinfeksi dan memerlukan vaksinasi hepatitis B.[1]
Populasi yang rentan terinfeksi hepatitis B adalah bayi yang lahir dari orang dengan infeksi HBV, pasangan seks orang dengan infeksi HBV, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), dan pengguna narkoba suntik. Populasi lain yang juga rentan terinfeksi HBV adalah pekerja kesehatan dan keselamatan publik yang berisiko terpapar darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi, serta pasien yang menjalani hemodialisis.
Sekitar 25% orang yang terinfeksi hepatitis B kronik selama masa kanak-kanak dan 15% yang terinfeksi kronik setelah melewati masa kanak-kanak dilaporkan meninggal karena sirosis atau kanker hepar. Bayi merupakan populasi yang paling berisiko mengalami infeksi kronik hepatitis B. Sementara itu, kebanyakan orang dewasa dapat sembuh dari infeksi akut dan tidak berkembang menjadi infeksi kronik. Penggunaan vaksin hepatitis B dapat mencegah timbulnya penyakit ini, sehingga turut mencegah komplikasi mengancam jiwa terkait hepatitis B.[4]
Pasien dengan hepatitis B akut ditangani dengan terapi suportif berdasarkan gejala yang muncul. Pada pasien dengan hepatitis B kronik, dapat dilakukan pemberian antivirus seperti peginterferon alfa-2a, peginterferon alfa-2b, entecavir, lamivudin, adefovir, dan tenofovir. Terapi-terapi ini bertujuan untuk menekan replikasi dan mencegah reaktivasi.[1,4]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita