Penatalaksanaan Hepatitis B
Penatalaksanaan hepatitis B akut bersifat suportif dan simptomatik. Pada hepatitis B kronik, diperlukan pemberian pegylated interferon alfa (PEG-IFN-a), entecavir, dan tenofovir.[3,13]
Prinsip Terapi Hepatitis B Akut
Infeksi hepatitis B akut dapat sembuh secara spontan pada 95% orang dewasa sehat. Pada populasi ini, manajemennya berupa tindakan suportif. Sedangkan, pasien dengan kondisi akut berat dan akut berat protracted membutuhkan pengobatan antiviral.
Pasien dianggap mengalami kondisi akut berat jika memenuhi 2 dari 3 indikator berikut:
- Bilirubin lebih dari 10 mg/dL
International normalized ratio (INR) lebih dari 1.6
- Ensefalopati hepatikum
Kondisi akut berat protracted ditegakkan jika bilirubin total lebih dari 3 mg/dL atau angka bilirubin direk lebih dari 1,5 mg/dL, INR lebih dari 1.5, dan ada ensefalopati hepatikum atau ascites.[1]
Prinsip Terapi Hepatitis B Kronik
Pasien dengan hepatitis B kronik memerlukan pemberian antivirus. Dokter juga perlu mengidentifikasi adanya koinfeksi seperti HIV, hepatitis C, atau hepatitis D. Dokter juga perlu mempertimbangkan status replikasi virus hepatitis B dan keparahan penyakit.
Keparahan dari penyakit ditentukan berdasarkan pada penilaian klinis, pemeriksaan laboratorium parameter fungsi hati, dan histologi liver. Pada hepatitis B kronik dengan nilai alanin transferase (ALT) normal, dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan untuk mengukur kerusakan jaringan hepar. Sementara itu, pada pasien dengan nilai ALT yang meningkat atau berfluktuasi, biopsi hepar perlu dilakukan untuk mengetahui perlunya pengobatan antivirus. Antivirus diberikan jika ada fibrosis hepar signifikan (F2 atau lebih).[1]
Medikamentosa
Tujuan pengobatan antiviral ialah untuk menekan replikasi virus hepatitis B, mereduksi inflamasi hepar, dan mencegah progresi ke sirosis hepatis dan karsinoma hepatoseluler. Secara umum, pada penderita hepatitis B kronik dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai jika HBV DNA mencapai 20.000 IU/mL atau lebih dan jika ALT meningkat selama 3-6 bulan. Sementara itu, pada pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg negatif, terapi dapat dimulai ketika HBV DNA mencapai 2.000 IU/mL atau lebih dan nilai ALT meningkat selama 3-6 bulan. Pada pasien dengan koinfeksi HIV, terapi hepatitis B dan antiretroviral (ARV) dapat dimulai bersamaan.[1,3,13,14]
Interferon
Sediaan interferon dibedakan pada dewasa dan anak-anak. Peginterferon alfa-2a diperuntukkan bagi pasien dewasa, sedangkan peginterferon alfa-2b diberikan pada anak-anak. Dosis dewasa adalah 180 mcg setiap minggu. Untuk anak-anak di atas 1 tahun, dosis interferon adalah 6 juta IU/m2 yang diberikan 3 kali seminggu.
Interferon masuk dalam kategori C untuk ibu hamil. Efek samping obat ini mencakup gejala menyerupai flu, kelelahan, gangguan mood, penyakit autoimun pada pasien dewasa, serta anoreksia dan penurunan berat badan pada anak-anak.[5]
Entecavir
Entecavir diberikan dengan dosis 0,5 mg setiap harinya untuk dewasa dan anak-anak di atas 2 tahun dengan berat badan di atas 30 kg dan belum pernah mendapat terapi. Selain itu, entecavir diberikan berdasarkan berat badan anak.
Dosis entecavir pada anak yang belum pernah menggunakan pengobatan di atas usia 2 tahun dan dengan berat badan minimal 10 kg adalah:
- 0,15 mg untuk anak dengan berat badan 10-11 kg
- 0,2 mg untuk anak dengan berat badan di atas 11 kg hingga14 kg
- 0,25 mg untuk anak dengan berat badan di atas 14 kg hingga 17 kg
- 0,3 mg untuk anak dengan berat badan di atas 17kg hingga 20 kg
- 0,35 mg untuk anak dengan berat badan di atas 20 kg hingga 23 kg
- 0,4 mg untuk anak dengan berat badan di atas 23 kg hingga 26 kg
- 0,45 mg untuk anak dengan berat badan di atas 26 kg hingga 30 kg
Untuk anak-anak yang sudah pernah mendapat pengobatan, berusia di atas 2 tahun, dengan berat badan setidaknya 10 kg, dosis entecavir adalah:
- 0,30 mg untuk anak dengan berat badan 10-11 kg
- 0,4 mg untuk anak dengan berat badan di atas 11 kg hingga 14 kg
- 0,5 mg untuk anak dengan berat badan di atas 14 kg hingga 17 kg
- 0,6 mg untuk anak dengan berat badan di atas 17 kg hingga 20 kg
- 0,7 mg untuk anak dengan berat badan di atas 20 kg hingga 23 kg
- 0,8 mg untuk anak dengan berat badan di atas 23 kg hingga 26 kg
- 0,9 mg untuk anak dengan berat badan di atas 26 kg hingga 30 kg
- 1,0 mg untuk anak dengan berat badan di atas 30 kg
Kategori obat ini adalah C untuk ibu hamil. Efek samping entecavir yang perlu diwaspadai ialah asidosis laktat pada kondisi sirosis dekompensata.[5]
Tenofovir
Tenofovir diberikan dengan dosis 300 mg per hari untuk dewasa dan anak usia 12 tahun ke atas. Kategori obat ini adalah B untuk kehamilan. Efek samping obat ini mencakup nefropati, sindroma Fanconi, osteomalasia, dan asidosis laktat.[5]
Lamivudin
Lamivudin diberikan dengan dosis 100 mg/hari untuk pasien dewasa. Pada anak berusia 2 tahun ke atas, dosis lamivudin yang digunakan adalah 3 mg/kg/ hari, dengan dosis maksimal 100 mg.
Kategori obat ini adalah C untuk kehamilan. Potensi efek samping mencakup pankreatitis dan asidosis laktat.[5]
Adefovir
Adefovir diberikan dengan dosis 10 mg setiap harinya untuk pasien dewasa dan anak usia 12 tahun ke atas. Kategori obat ini adalah C untuk kehamilan. Efek samping obat mencakup gagal ginjal akut, sindroma Fanconi dan asidosis laktat.[5]
Telbivudin
Telbivudin diberikan dengan dosis 600 mg per hari untuk pasien dewasa. Kategori obat ini adalah B untuk kehamilan. Obat ini berpotensi menimbulkan efek samping berupa peningkatan kreatin kinase, myopati, neuropati perifer, dan asidosis laktat.[5]
Pembedahan
Terapi bedah hanya diindikasikan pada penyakit hati fulminan yang membutuhkan transplantasi organ hati.[1]
Perubahan Gaya Hidup
Pasien dengan hepatitis akut dan kronik yang tidak mengalami sirosis hepatis tidak perlu melakukan restriksi diet. Namun, pada pasien dengan sirosis dekompensata, maka diperlukan melakukan pembatasan diet yang disesuaikan dengan kondisi klinis. Pembatasan dapat berupa diet rendah natrium 1,5 g/hari, diet tinggi protein, serta pembatasan cairan sebanyak 1,5 L/hari pada kasus hiponatremia.[3]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita