Diagnosis Hepatitis C
Diagnosis hepatitis C terutama ditegakkan menggunakan pemeriksaan antibodi anti-HCV dan HCV RNA, yang ditunjang oleh temuan klinis. Hepatitis C memiliki masa inkubasi antara 2 minggu-6 bulan. Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala. Gejala biasanya baru muncul saat telah terjadi kerusakan hati yang serius. Oleh karenanya, skrining perlu dilakukan secara aktif, terutama pada individu berisiko dan di daerah dengan seroprevalensi antibodi HCV yang tinggi.[1-3]
Anamnesis
Saat anamnesis, perlu ditanyakan keluhan serta identitas dan latar belakang pasien yang berkaitan dengan faktor risiko paparan HCV.
Risiko Infeksi Hepatitis C
Populasi berisiko antara lain pengguna narkoba suntik, lelaki seks dengan lelaki (LSL), waria, dan warga binaan pemasyarakatan. Tanyakan juga faktor perilaku yang meningkatkan risiko hepatitis C, seperti pasangan seks berganti-ganti atau bekerja pada lingkungan yang berisiko tertusuk jarum infeksius misalnya tenaga kesehatan.
Evaluasi faktor risiko terjadinya kronisitas hepatitis C, yaitu jenis kelamin laki-laki, usia >25 tahun saat mengalami infeksi, etnis Afrika-Amerika, adanya koinfeksi dengan HIV, kondisi imunosupresi, alkoholisme, obesitas, dan adanya resistensi insulin.[4,5]
Gejala Hepatitis C
Hepatitis C akut umumnya asimtomatik, dengan hanya 20% kasus yang menunjukkan gejala. Gejala yang muncul tidak spesifik, sehingga sulit dibedakan secara klinis dari hepatitis viral akut lainnya.
Gejala akut yang dapat muncul antara lain demam, malaise, fatigue, penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri abdomen kuadran kanan atas, warna urine gelap, warna feses pucat, nyeri sendi, dan ikterus. Manifestasi ekstrahepatik juga dapat terjadi pada hepatitis C akut terutama pada persendian, otot, dan kulit, seperti atralgia, parestesia, mialgia, pruritus, neuropati sensori, dan sindrom sicca.[1,3,5]
Hepatitis C Kronik
Hepatitis C kronik juga cenderung asimtomatik, atau dapat menunjukkan gejala namun nonspesifik. Gejala dapat berupa fatigue atau malaise, nyeri abdomen kuadran kanan atas hilang timbul, nyeri sendi, dan penurunan kualitas hidup. Pasien hepatitis C kronik yang telah berkembang menjadi sirosis dekompensata sering menunjukkan gejala nonspesifik yang juga muncul pada penyakit hati dekompensata lain, seperti inversi pola tidur dan gatal.[3-5]
Pemeriksaan Fisik
Abnormalitas pada pemeriksaan fisik biasanya baru ditemukan setelah terjadi hipertensi portal atau penyakit hati dekompensata, kecuali pada pasien hepatitis C dengan manifestasi ekstrahepatik seperti porphyria cutanea tarda atau necrotizing vasculitis.
Tanda Klinis Dekompensata
Pada pasien hepatitis C dengan penyakit hati dekompensata dapat ditemukan tanda klinis di bawah ini:
- Kepala: sklera ikterik, hilangnya massa otot temporal, pembesaran kelenjar parotid, sianosis, fetor hepatikus
- Ekstremitas: eritema palmaris, kontraktur Dupuytren, asterixis, leukonikia, clubbing, edema pergelangan kaki
- Abdomen: hernia paraumbilikalis, asites, kaput medusa, hepatosplenomegali, bruit abdomen
- Kulit: spider nevi, peteki, ekskoriasi karena pruritus, bulu-bulu di tubuh
- Reproduksi: ginekomastia, testis kecil
Pada pasien yang mengalami ensefalopati hepatikum, dapat terjadi perubahan status mental. Jika pasien memiliki varises esofagus, dapat muncul hematemesis atau melena.[3,4]
Manifestasi Ekstrahepatik
Manifestasi ekstrahepatik dapat berupa krioglobulinemia, glomerulonefritis membranoproliferatif, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), liken planus, keratokonjungtivitis sika, sindrom Raynaud, sindrom Sjogren, porphyria cutanea tarda, dan necrotizing cutaneous vasculitis. 10-15% pasien memiliki gejala dan tanda seperti kelemahan, atralgia, dan purpura yang berkaitan dengan vaskulitis.[3,4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding hepatitis C antara lain hepatitis autoimun, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis D, hepatitis E, drug-induced liver injury, dan kolangitis.[3,4]
Hepatitis Autoimun
Sama dengan hepatitis C, hepatitis autoimun umumnya berkembang menjadi kronik. Hepatitis autoimun memiliki temuan histologi yang sama dengan hepatitis hepatitis C, yaitu inflamasi portal. Pada hepatitis autoimun lebih sering ditemukan infiltrasi sel plasma derajat sedang-berat pada traktus portal dan inflamasi lobular, sedangkan pada hepatitis C kronik lebih sering ditemukan agregasi limfoid portal, steatosis, dan kerusakan duktus biliaris.
Pada pemeriksaan serum antinuclear antibody (ANA) dan anti–smooth muscle antibody (ASMA), hepatitis autoimun menunjukkan seropositif dengan titer yang lebih tinggi dibandingkan hepatitis C kronik.[3,9]
Kolangitis
Kolangitis memiliki gejala nonspesifik yang mirip dengan hepatitis virus, yaitu demam, ikterik, dan nyeri abdomen. Penyebab utama kolangitis adalah batu di duktus bilier atau manipulasi traktus biliaris. Kolangitis dapat terjadi pada neonatus sampai usia tua.
Diagnosis kolangitis ditegakkan dengan magnetic resonance cholangiography (MRC), endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) untuk obstruksi letak rendah, atau percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) untuk obstruksi letak tinggi.[3,10]
Hepatitis A
Hepatitis A disebabkan oleh infeksi virus hepatitis A (HAV) yang ditransmisikan secara fekal-oral. Hepatitis A dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa. Cara membedakan hepatitis A dari jenis hepatitis virus lain adalah melalui pemeriksaan serologi.[11,12]
Hepatitis B
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang ditransmisikan melalui cairan tubuh seperti darah, semen, dan cairan vagina. Hepatitis B dapat terjadi pada neonatus sampai usia tua (elderly). Hepatitis B dapat menyebabkan infeksi kronik sampai sirosis dan hepatocellular carcinoma (HCC). Cara membedakan hepatitis B dari jenis hepatitis virus lain adalah melalui pemeriksaan serologi.[13,14]
Hepatitis D
Hepatitis D disebabkan oleh infeksi virus hepatitis D (HDV). HDV membutuhkan adanya HBV untuk replikasi, sehingga infeksi HDV hanya terjadi pada pasien dengan hepatitis B surface antigen (HbsAg) positif. Hepatitis D termasuk hepatitis kronik yang berat dan dapat berkembang cepat menjadi HCC bahkan kematian. Cara membedakan hepatitis D dari jenis hepatitis virus lain adalah melalui pemeriksaan serologi.[11,15]
Hepatitis E
Hepatitis E disebabkan oleh virus hepatitis E (HEV) yang ditransmisikan secara fekal-oral. Hepatitis E lebih sering terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak. Hepatitis E umumnya tidak berkembang menjadi kronik. Cara membedakan hepatitis E dari jenis hepatitis virus lain adalah melalui pemeriksaan serologi.[11,16]
Kerusakan Hati yang Diinduksi Obat (Drug-Induced Liver Injury)
Drug-induced liver injury (DILI) memiliki gejala dan temuan klinis yang mirip dengan hepatitis viral, namun perlu digali riwayat konsumsi obat, vitamin, suplemen, atau obat herbal yang berlebihan selama 3 bulan terakhir. DILI didiagnosis dengan pemeriksaan tes skrining obat yang dicurigai (drug screening tests).[17,18]
Pemeriksaan Penunjang
Hepatitis C didiagnosis dengan 2 langkah:
- Pemeriksaan antibodi anti-HCV dengan tes serologi
- Jika hasil positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA untuk mengkonfirmasi adanya infeksi kronik dan perlu tidaknya memulai terapi[1,5]
Anti-HCV mulai dapat terdeteksi di dalam darah 4-10 minggu setelah paparan dan dapat menetap sampai 6 bulan. HCV RNA dapat terdeteksi dalam 1-14 hari setelah paparan[2]
Diagnosis hepatitis C akut dapat ditegakkan jika:
- Hasil pemeriksaan HCV RNA positif dengan hasil tes antibodi HCV negatif (seronegative “window” period), atau
- Hasil tes antibodi HCV positif setelah tes antibodi HCV negatif (serokonversi)
Namun perlu menjadi catatan bahwa hasil pemeriksaan dapat tidak sesuai pada pasien imunokompromais atau dengan gangguan produksi antibodi.
Diagnosis hepatitis C kronik dapat ditegakkan jika antibodi anti-HCV dan HCV RNA tetap terdeteksi lebih 6 bulan sejak terinfeksi dengan atau tanpa gejala penyakit hati kronik.[4]
Setelah pasien terkonfirmasi hepatitis C, dapat dilakukan penilaian derajat kerusakan hati (fibrosis dan sirosis) untuk menentukan penanganan dan terapi yang lebih optimal. Derajat kerusakan hati dapat dinilai dengan pemeriksaan invasif (biopsi hati) maupun non-invasif (transient elastography).[1,4]
Pemeriksaan Antibodi Anti-HCV
Pemeriksaan antibodi anti-HCV pada prinsipnya adalah mendeteksi antibodi terhadap rekombinan polipeptida HCV. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode chemiluminescent immunoassay (CLIA) atau enzyme immunoassays (EIAs) yang dapat mendeteksi sekuensi NS4, inti, NS3, dan NS5 dengan sensitivitas 97% (EIAs generasi ketiga). Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi anti-HCV dalam 8 minggu setelah onset infeksi, namun pemeriksaan ini tidak dapat membedakan infeksi HCV yang sedang terjadi atau infeksi lampau sehingga perlu dilakukan tes HCV RNA lebih lanjut.[3-5]
Hasil positif palsu pada pemeriksaan ini dapat terjadi pada pasien tanpa faktor risiko maupun tanda-tanda penyakit hati, seperti pada tenaga kesehatan atau pendonor darah. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada pasien imunokompromais, seperti pasien dengan infeksi HIV, gagal ginjal, penggunaan obat imunosupresan, atau HCV-associated essential mixed cryoglobulinemia.[4,5]
Saat ini telah tersedia tes cepat antibodi (HCV Rapid Antibody Test), dimana sample darah diambil dari fingerstick atau venipuncture whole blood. Tes cepat antibodi ini direkomendasikan untuk orang dengan risiko hepatitis atau gejala hepatitis.[4]
Pemeriksaan HCV RNA Kualitatif dan Kuantitatif
Pemeriksaan HCV RNA digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis, memprediksi kemungkinan respon terhadap terapi, dan memonitor respon terapi. Pemeriksaan HCV RNA dapat membedakan infeksi HCV yang sedang terjadi atau infeksi lampau. Pemeriksaan ini dapat menjadi pilihan pertama pemeriksaan pada pasien imunokompromais, adanya kecurigaan reinfeksi, dan waktu paparan masih dalam 6 bulan terakhir.[3,5]
Perbedaan Pemeriksaan HCV RNA Kualitatif dan Kuantitatif:
Terdapat 2 jenis pemeriksaan HCV RNA, yaitu pemeriksaan kualitatif dan pemeriksaan kuantitatif. Pemeriksaan HCV RNA kualitatif merupakan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya HCV RNA dalam darah menggunakan metode amplifikasi seperti polymerase chain reaction (PCR) atau transcription-mediated amplification (TMA). Sementara itu, pemeriksaan HCV RNA kuantitatif merupakan pemeriksaan untuk mengukur kuantitas HCV RNA dalam darah dengan metode amplifikasi sinyal (branched deoxyribonucleic acid assay) atau metode amplifikasi target (PCR, TMA).[4,5]
Pada era terapi direct-acting antivirals (DAAs) untuk hepatitis C, pemeriksaan HCV RNA kualitatif lebih berpotensi untuk digunakan dalam mendeteksi HCV RNA dan memantau respons pengobatan. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif dilakukan sebelum memulai terapi untuk melihat kadar awal viremia (baseline viral load).[5,6]
Pemeriksaan Skrining
Pemeriksaan skrining dilakukan dengan pemeriksaan antibodi anti-HCV. Jika hasil positif, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA. Jika hasil negatif namun individu memiliki riwayat terpapar HCV dalam 6 bulan terakhir, maka pemeriksaan follow up antibodi anti-HCV atau pemeriksaan HCV RNA dilakukan kembali ≥6 bulan setelah paparan.
Individu dengan hasil antibodi anti-HCV positif namun hasil HCV RNA negatif, menandakan bahwa tidak ada infeksi HCV aktif yang sedang terjadi, meski begitu reinfeksi tetap dapat terjadi. Pada individu dengan risiko reinfeksi HCV, pemeriksaan HCV RNA lebih direkomendasikan karena antibodi anti-HCV dapat masih positif. Pemeriksaan lanjutan HCV RNA juga perlu dipertimbangkan pada pasien imunokompromais.[5,6]
American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) merekomendasikan pemeriksaan skrining berbasis usia, status kehamilan, faktor risiko, ataupun atas permintaan sendiri.[2,6]
Pemeriksaan Skrining Berbasis Usia:
Individu usia ≥18 tahun direkomendasikan untuk pemeriksaan skrining hepatitis C minimal sekali semasa hidup, kecuali pada daerah dengan prevalensi hepatitis C <0,1%.[2,6]
Pemeriksaan Skrining Berbasis Status Kehamilan:
Sumber infeksi hepatitis C pada anak terutama berasal dari transmisi vertikal ibu ke bayi. Pemeriksaan skrining hepatitis C prenatal direkomendasikan untuk setiap kehamilan pada wanita hamil, kecuali pada daerah dengan prevalensi hepatitis C <0,1%.
Semua bayi yang lahir dari ibu hepatitis C perlu dilakukan pemeriksaan antibodi anti-HCV pada usia ≥18 bulan. Jika hasil positif, pemeriksaan HCV RNA dilakukan setelah usia 3 tahun untuk mengkonfirmasi adanya kronisitas hepatitis C. [2,6]
Pemeriksaan Skrining Berbasis Risiko:
Untuk usia <18 tahun yang memiliki faktor risiko, direkomendasikan pemeriksaan skrining hepatitis C sekali semasa hidup. Untuk semua individu dengan masih atau terus terpapar faktor risiko (misalnya pengguna narkoba suntik dan petugas kesehatan), direkomendasikan pemeriksaan skrining secara periodik. Untuk populasi pengguna narkoba suntik dan lelaki seks dengan lelaki (LSL), direkomendasikan pemeriksaan skrining setahun sekali (annually).[2,6]
Penilaian Derajat Kerusakan Hati
Identifikasi derajat kerusakan hati penting dilakukan untuk menilai prognosis, respon terapi dan kesintasan HCC. Identifikasi awal menggunakan ultrasonografi (USG) abdomen dapat dilakukan, namun tetap dilakukan pemeriksaan spesifik lebih lanjut dengan biopsi hati atau transient elastography.[3,4]
Biopsi Hati:
Pemeriksaan biopsi hati adalah pemeriksaan invasif untuk menilai derajat kerusakan hati dengan sistem skoring. Pemeriksaan ini tidak wajib dilakukan pada kasus hepatitis C, namun pemeriksaan ini dapat membantu menilai aktivitas penyakit (grade) dan keparahan penyakit (stage). Biopsi hati diindikasikan jika diagnosis tidak dapat dipastikan, ada koinfeksi, pasien imunokompromais, dan pasien dengan enzim hati normal tanpa manifestasi ekstrahepatik.[3,4]
Temuan histologi yang umum pada pasien hepatitis C adalah infiltrasi limfosit, nekrosis dan inflamasi derajat sedang, serta fibrosis portal atau bridging fibrosis. Pada pasien sirosis terkait HCV dengan terapi DAAs, progresi ke arah HCC dapat terjadi dengan cepat. Pada kasus ini, dapat ditemukan nodul regeneratif dan histologi yang mengarah ke HCC.[4]
Pemeriksaan Transient Elastography:
Pemeriksaan transient elastography (FibroScan) adalah pemeriksaan non-invasif untuk menilai derajat kerusakan hati. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara tahap fibrosis ringan dengan sirosis, namun kurang baik dalam membedakan antara derajat fibrosis sedang dan berat. Hasil invalid dapat terjadi pada pasien obesitas, usia >52 tahun, wanita, atau operator yang belum berpengalaman. Pemeriksaan transient elastography dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan Aspartate Aminotransferase-Platelet Ratio Index (APRI) untuk meningkatkan akurasi.[4,8]
Pemeriksaan Genotipe HCV
Pemeriksaan genotipe HCV adalah pemeriksaan untuk mendiferensiasi genotipe HCV, yang digunakan untuk membantu dalam pemilihan regimen terapi yang paling optimal serta memprediksi kemungkinan respon dan durasi terapi, terutama pada pasien dewasa non-imunokompromais dengan infeksi HCV kronik. Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan diagnostik rutin maupun skrining materi genetik HCV.[3-5]
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan genotipe HCV antara lain metode direct sequence analysis, reverse hybridization to genotype-specific oligonucleotide probes, atau restriction fragment length polymorphisms (RFLPs). Sample pemeriksaan didapatkan dari serum atau plasma darah pasien.[4]
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah tes fungsi hati, alkaline phosphatase, albumin, bilirubin total dan direk, serta laju filtrasi glomerulus. Pasien juga memerlukan skrining koinfeksi HIV dan hepatitis B, serta pemeriksaan penyakit hati lain untuk menyingkirkan diagnosis banding. Lakukan juga skrining penyalahgunaan obat atau alkohol, serta tes kehamilan pada wanita usia subur.[3,4]
Penulisan pertama oleh: dr. Gisheila Ruth Anggitha