Diagnosis Osteoporosis
Diagnosis definitif osteoporosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan bone mineral density atau BMD dengan skor T di bawah -2,5. Pada banyak kasus, osteoporosis tidak terdiagnosis sampai ketika pasien mengalami fraktur. Pasien osteoporosis bisa mengeluhkan nyeri kronik, deformitas, dan fraktur tanpa benturan yang kuat. Pada anamnesis, dokter perlu mengidentifikasi penyakit dasar atau konsumsi obat yang dapat mengakibatkan osteoporosis.
Anamnesis
Pasien osteoporosis jarang memiliki keluhan sampai mereka mengalami fraktur, pada beberapa pasien, dapat ditemukan keluhan seperti nyeri kronis dan deformitas. Anamnesis perlu menekankan pada penapisan risiko osteoporosis dan identifikasi faktor risiko.
Penapisan Risiko Osteoporosis
Pertanyaan yang digunakan untuk menapis risiko osteoporosis antara lain:
- Untuk wanita perlu ditanyakan apakah sudah menopause atau belum?
- Apakah pernah patah tulang akibat terjatuh atau tabrakan yang relatif ringan?
- Apakah pernah minum obat kortikosteroid dalam jangka waktu lebih dari tiga bulan?
- Apakah tinggi badan telah berkurang lebih dari 3 cm?
- Apakah secara teratur minum minuman beralkohol?
- Apakah merokok lebih dari 20 batang sehari?
Jika ada jawaban iya mengindikasikan pasien tersebut mempunyai risiko menderita osteoporosis dan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.[10,13]
Identifikasi Faktor Risiko Osteoporosis
Faktor risiko osteoporosis perlu ditanyakan dalam anamnesis. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain riwayat pribadi fraktur, riwayat fraktur pada kerabat tingkat pertama, ras kulit putih, usia lanjut, jenis kelamin wanita, dan dementia.
Faktor risiko osteoporosis yang dapat dimodifikasi antara lain merokok, berat badan rendah, asupan kalsium rendah, alkoholisme, dan penglihatan terganggu. Osteoporosis juga rentan terjadi pada pasien dengan aktivitas fisik yang tidak memadai, serta defisiensi estrogen seperti yang disebabkan oleh menopause dini (usia < 45 tahun) atau ovariektomi bilateral dan amenore premenopause yang berkepanjangan.[9,10]
Keluhan pada Pasien yang Mengalami Fraktur
Pasien dengan osteoporosis lebih berisiko mengalami fraktur tulang belakang, fraktur panggul, fraktur femur proksimal, dan fraktur radius distal. Pasien yang mengalami fraktur dapat mengeluhkan nyeri pada regio yang berkaitan dengan lokasi fraktur, misalnya nyeri pergelangan tangan pada fraktur radius distal atau nyeri pada area bokong pada fraktur panggul. Selain itu, pasien juga bisa mengeluhkan keterbatasan pergerakan pada area tersebut.[9,10,13]
Untuk penilaian risiko fraktur pada pasien osteoporosis, dokter dapat menggunakan alat bantu berupa FRAX®.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, penting menilai indeks massa tubuh (IMT). Pasien dengan IMT di bawah 19 kg/m2 lebih berisiko menderita osteoporosis. Selain itu perlu dinilai juga postur, dimana postur seperti kifosis merupakan hal yang sering dialami pasien dengan fraktur vertebra.
Temuan Klinis pada Pasien dengan Fraktur
Pada pasien dengan fraktur vertebra, dapat ditemukan nyeri pada area setinggi vertebra yang terlibat. Pasien juga dapat mengalami kifosis torakal dengan lordosis servikal, disertai penurunan tinggi badan 2-3 cm.
Pasien dengan fraktur panggul bisa mengalami keterbatasan lingkup gerak sendi pada pemeriksaan pergelangan sendi panggul. Pasien juga mengalami kesulitan weight-bearing dan memiliki pola gait antalgik.
Pasien dengan fraktur Colles akan merasa nyeri saat pergerakan pergelangan tangan. Pasien juga bisa mengalami deformitas dinner fork.[7,10]
Diagnosis Banding
Osteoporosis dapat didiagnosis banding dengan mastositosis, osteomalasia, dan kelainan tulang akibat metastasis kanker.
Mastositosis
Mastositosis memiliki gejala yang serupa dengan osteoporosis berupa nyeri tulang dan adanya manifestasi fraktur pada beberapa kasus. Tetapi, mastositosis selalu diikuti gejala sistemik lain, seperti lesi pruritus kutan, rinorrhea, diare, mengi, dan sinkop.[14]
Osteogenesis Imperfekta
Osteogenesis imperfekta merupakan kelainan tulang akibat mutasi genetik kolagen tipe I. Peranan kolagen tersebut salah satunya dalam pembentukan tulang. Mutasi genetik menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kolagen yang berakibat pada gangguan osteogenesis periosteal dan endosteal. Seluruh tulang menjadi rapuh dan rentan fraktur.
Selain penurunan massa tulang, penderita osteogenesis imperfekta juga dapat mengalami deformitas tulang progresif, perawakan pendek, sklera biru, dan instabilitas sendi.[15]
Osteomalasia
Pada osteomalasia, komposisi mineral tulang berkurang. Kalsifikasi terlalu sedikit sedangkan osteoid (matriks yang tidak mengalami kalsifikasi) meningkat. Konsistensi tulang lebih lunak dibandingkan dengan tulang normal. Pada pemeriksaan laboratorium, kadar alkali fosfatase serum meningkat.[16]
Kelainan Tulang Metastasis
Metastasis keganasan pada tulang mengakibatkan osteolitik. Tulang menjadi rapuh dan rentan fraktur. Gejala nyeri tulang juga dikeluhkan pada metastasis tulang. Pemeriksaan radiologi dapat membantu membedakan osteoporosis senilis pada vertebra dengan keganasan. Pada gambaran radiologi konvensional, gambaran destruksi tulang disertai massa jaringan lunak pada posterior badan vertebra cenderung mengindikasikan keganasan.[17]
Penyakit Paget Tulang
Penyakit Paget merupakan penyakit tulang yang bersifat lokal, bisa berefek di satu atau lebih ruas tulang dan paling sering mengenai bagian tulang aksial dengan gejala nyeri tulang yang serupa dengan osteoporosis. Pada pemeriksaan laboratorium, biasanya ditemukan peningkatan alkali fosfatase pada penyakit ini. Temuan khas pada pemeriksaan radiografi diawali dengan ditemukannya lesi litik dan berkembang menjadi osteolisis dan pembentukan tulang yang berlebihan.[18]
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran bone mineral density (BMD) merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan diagnosis osteoporosis. Penapisan osteoporosis dengan BMD disarankan pada seluruh wanita usia 65 tahun ke atas dan pria usia 70 tahun ke atas, serta pada pasien dewasa yang mengonsumsi glukokortikoid jangka panjang.
Bone Mineral Density
Pemeriksaan dual energy X-ray absorptiometry (DEXA) merupakan salah satu teknik yang menjadi pilihan utama dalam menilai BMD. Pemeriksaan ini memiliki banyak fungsi mulai dari membantu penegakan diagnosis, menilai respon terapi, serta memperkirakan risiko fraktur.[8]
Pemeriksaan DEXA akan menampilkan hasil skor T. Skor T menunjukan densitas mineral tulang (massa mineral tulang per unit area) pasien dibandingkan dengan nilai normal puncak massa tulang dewasa. Nilai skor T pada pemeriksaan DEXA di bawah -1,0 mengindikasikan osteopenia. Sementara itu, skor T di bawah -2,5 mengindikasikan osteoporosis.
Selain skor T juga dihasilkan skor Z. Skor Z membandingkan densitas mineral tulang pasien dengan nilai normal berdasar usia, etnis, dan jenis kelamin.Nilai skor Z perlu diperhatikan pada populasi wanita post menopause. Skor Z yang terlalu rendah dapat mengindikasikan osteoporosis sekunder pada populasi wanita menopause.[2,8]
Rontgen
Rontgen polos direkomendasikan untuk menilai integritas tulang secara keseluruhan. Secara khusus, dalam pemeriksaan osteoporosis rontgen diindikasikan jika dicurigai adanya fraktur, atau terdapat kehilangan lebih dari 2-3 cm tinggi badan pasien.[8,10]
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menyingkirkan penyebab sekunder osteoporosis dan untuk memastikan bahwa pemilihan terapi farmakologis untuk osteoporosis tepat, berdasarkan fungsi ginjal dan kadar kalsium serum. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah kadar fosfat, kalsium, alkali fosfatase, kreatinin, magnesium, 25-hidroksivitamin D, dan kadar hormon paratiroid.[8,10]
Penulisan pertama oleh: dr. Debtia Rahma