Pendahuluan Bell's Palsy
Bell’s palsy adalah kelumpuhan salah satu sisi otot wajah tiba-tiba akibat paralisis nervus fasialis (saraf kranial VII) unilateral awitan akut. Etiologi pasti Bell’s palsy belum diketahui namun proses iskemik, infeksi, imunologi, atau herediter dihipotesiskan sebagai penyebab.
Dalam perjalanannya, nervus fasialis melalui berbagai kanal sempit sehingga proses yang menyebabkan edema atau inflamasi bisa menimbulkan kompresi dan gangguan inervasi. Nervus fasialis mempunyai percabangan motorik, sensorik dan parasimpatik, sehingga gejala paralisis saraf ini akan menimbulkan paralisis otot wajah, gangguan pendengaran, gangguan pengecap, nyeri wajah dan mastoid, serta gangguan lakrimasi dan salivasi.[1,2]
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan nervus fasialis unilateral awitan akut, kurang dari 72 jam. Bell’s palsy relatif jarang ditemukan tetapi bisa mengenai semua gender pada semua umur. Insidensi gangguan ini adalah 11,5–53,3 per 100.000 orang per tahun.[1-3]
Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan patofisiologi lain. Gejala patognomonisnya adalah paralisis otot wajah ipsilateral, mencakup cabang nervus fasialis bagian dahi, bersifat akut, dan mencapai puncak dalam 72 jam. Tingkat keparahan parese nervus dinilai dengan House Brackmann grading system. Sistem ini juga dipakai untuk menilai kemajuan terapi.
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah pemeriksaan motorik otot-otot wajah yang diinervasi nervus fasialis, pemeriksaan nervus kranialis lain, pemeriksaan telinga, pemeriksaan mata, pemeriksaan fungsi lakrimasi dan salivasi, serta pemeriksaan fungsi pengecap. Pemeriksaan penunjang tidak direkomendasikan untuk penegakan diagnosis namun bisa dilakukan sesuai dengan indikasi, misalnya untuk menyingkirkan kelainan saraf pusat.
Penatalaksanaan farmakoterapi harus dimulai sesegera mungkin untuk menurunkan kemungkinan terjadinya sekuele. Farmakoterapi yang diberikan adalah kortikosteroid atau kombinasi kortikosteroid dan antiviral. Penggunaan antiviral sebagai agen tunggal tidak direkomendasikan. Penatalaksanaan non farmakologis dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi dan estetik, serta mengatasi sekuele.
Sebagian besar pasien Bell’s palsy mengalami remisi sempurna, namun sebagian kecil akan mengalami remisi parsial dan mengalami sekuele. Sekuele yang bisa terjadi adalah regenerasi motorik yang inkomplit, regenerasi sensorik yang inkomplit, atau reinervasi yang salah.[11,12]
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha
