Diagnosis Bell's Palsy
Bell’s palsy adalah diagnosis klinis. Anamnesis dan pemeriksaan yang teliti diperlukan untuk penegakan diagnosis. Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan dengan cara menyingkirkan etiologi lain yang bisa menyebabkan parese atau paralisis otot wajah. Tanda patognomonisnya mencakup paralisis otot wajah bagian bawah maupun atas yang akut dan mencapai puncaknya dalam 72 jam yang disertai dengan manifestasi klinis lainnya.[6]
Langkah berikutnya adalah menentukan apakah paralisis disebabkan oleh gangguan pada upper motor neuron atau lower motor neuron yang bisa dilihat dari otot-otot yang mengalami paralisis. Pada Bell’s palsy yang merupakan lesi lower motor neuron, paralisis terjadi pada sisi ipsilateral wajah, termasuk dahi. Sebaliknya, pada lesi upper motor neuron seperti stroke atau tumor otak, dahi tidak terkena.[3]
Tingkat keparahan parese nervus fasialis bisa dinilai dengan menggunakan House Brackmann grading system (disebut juga sistem Sunnybrook). Selain untuk menilai keparahan, sistem ini juga bisa digunakan untuk menilai kemajuan terapi.
Tabel 1. House-Brackmann Grading System
Grade | Hasil Pemeriksaan | |
1 | Normal | Fungsi otot wajah semuanya normal |
2 | Disfungsi ringan | Kelemahan ringan yang hanya bisa ditemukan dengan pemeriksaan teliti. Pada kondisi istirahat, simetri dahi masih normal, mampu menutup kelopak mata dengan usaha minimal dan sedikit asimetri, mampu menggerakkan sudut mulut dengan usaha maksimal dan sedikit asimetri. Tidak ada sinkinesis, kontraktur, atau spasme hemifasial. |
3 | Disfungsi sedang | Jelas terlihat, namun tidak menimbulkan kecacatan yang menyebabkan kedua sisi terlihat berbeda, tidak gangguan fungsional, ada sinkinesis, kontraktur, atau spasme hemifasial tapi tidak berat. Pada kondisi istirahat, simetri dan tonus masih normal. Pada pergerakan, hanya ada sedikit gerakan atau tidak ada sama sekali pada otot dahi, mampu menutup mata dengan usaha maksimal dan terlihat asimetri, mampu menggerakkan sudut bibir dengan usaha maksimal dan terlihat asimetri. Pasien yang mengalami sinkinesis, kontraktur, atau spasme hemifasial yang jelas tapi tidak menimbulkan kecacatan dimasukkan ke grade 3 dengan tanpa mempertimbangkan kemampuan aktivitas motoriknya. |
4 | Disfungsi sedang-berat | Kelemahan yang jelas dan/atau asimetri yang jelas antara kedua sisi. Pada kondisi istirahat, simetri dan tonus masih normal. Pada pergerakan, tidak ada gerakan otot dahi, tidak mampu menutup mata dengan sempurna dengan usaha maksimal. Pasien dengan sinkinesis, melibatkan banyak otot, dan/atau spasme hemifasial yang cukup parah untuk mengganggu fungsi dimasukkan ke grade 4 dengan tanpa mempertimbangkan kemampuan aktivitas motoriknya. |
5 | Disfungsi berat | Hanya ada sedikit pergerakan otot yang bisa diamati. Pada kondisi istirahat, mungkin ditemukan asimetri dengan penurunan sudut bibir dan hilangnya lipatan nasolabial. Pada pergerakan, tidak ada pergerakan otot dahi, penutupan mata yang tidak sempurna dan pergerakan kelopak mata minimal dengan usaha maksimal, sedikit pergerakan pada sudut bibir. Biasanya tidak ada sinkinesis, kontraktur, atau spasme hemifasial. |
6 | Paralisis total | Kehilangan tonus, asimetri, tidak ada pergerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, atau spasme hemifasial. |
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda-beda sesuai dengan lesi pada perjalanan nervus fasialis. Selain kelemahan otot ipsilateral, pasien mungkin akan mengeluhkan mata atau bibir yang terasa kering, gangguan atau kehilangan pengecapan, hiperakusis, dan kantong di sudut mata atau bibir. Pasien juga mungkin mengeluhkan nyeri di leher, mastoid, sekitar telinga atau wajah ipsilateral.[2]
Bila lesi di foramen stylomastoideus, dapat terjadi paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Gangguan pada muskulus orbikularis okuli menyebabkan gangguan aliran air mata.
Lesi di kanalis facialis (sebelum bersilangan dengan korda timpani) akan menunjukkan semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoideus disertai dengan kehilangan pengecapan pada dua per tiga anterior lidah ipsilateral.
Lesi yang terjadi pada saat nervus fasialis memberikan percabangan ke muskulus stapedius dapat mengakibatkan hiperakusis. Lesi pada ganglion geniculatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan nervus fasialis perlu dilakukan untuk menilai adanya paralisis otot wajah. Periksa gerakan dan ekspresi wajah sesuai dengan otot yang diinervasi oleh nervus fasialis. Otot-otot wajah bagian atas mendapatkan inervasi bilateral dari hemisfer kanan dan kiri otak. Pada lesi sentral (upper motor neuron), muskulus frontalis, orbicularis oculi, dan corrugator tidak mengalami paralisis. Sebaliknya pada lesi lower motor neuron (seperti pada Bell’s palsy), semua otot ekspresi wajah akan terlibat sehingga paralisis akan ditemukan pada semua otot wajah ipsilateral.
Selain pemeriksaan nervus fasialis, sebaiknya juga dilakukan pemeriksaan untuk nervus kranialis lainnya, baik pemeriksaan sensorik maupun motorik. Pemeriksaan fungsi cerebellar juga perlu dilakukan.
Pemeriksaan telinga perlu dilakukan bila ada kecurigaan ke arah otitis media akut atau kronik, termasuk adanya perforasi membran timpani, otorea, cholesteatoma, atau adanya jaringan granulasi. Adanya vesikel atau rash pada liang telinga, daun telinga, atau lubang telinga menunjukkan kecurigaan ke arah infeksi herpes zoster oticus. Hiperakusis diperiksa dengan menggunakan tes stetoskop, dengan cara pasien diminta memakai stetoskop yang kemudian disentuhkan ke garputala yang sudah digetarkan. Pasien dengan hiperakusis akan mengalami lateralisasi ke arah telinga yang mengalami paralisis muskulus stapedius.
Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan gerakan bola mata, pendengaran, dan pengecapan. Ketika pasien diminta untuk menutup mata, maka bola mata akan melakukan rotasi ke atas. Karena nervus fasialis menginervasi sensori dua pertiga anterior lidah, maka pada Bell’s palsy bisa terjadi kehilangan sensasi pengecapan pada dua pertiga anterior lidah.
Diagnosis Banding
Anamnesis mengenai gejala dan perjalanan penyakit serta pemeriksaan fisik dan neurologis yang cermat dapat menyingkirkan berbagai kemungkinan diagnosis banding.
Diagnosis banding yang mungkin untuk Bell’s palsy adalah kelainan neurologis sentral seperti stroke, tumor otak, sklerosis multipel, dan trauma. Namun tanda dan gejala akibat kelainan neurologis sentral lebih berat dan lebih luas dibandingkan Bell’s palsy.
Diagnosis banding lainnya adalah gangguan pada telinga tengah (kavum timpani) seperti otitis media. Meskipun peradangan di kavum timpani bisa menimbulkan gejala yang mirip, namun biasanya disertai dengan penurunan pendengaran (bukan hiperakusis), tinnitus, atau discharge dari telinga. Infeksi, inflamasi, atau tumor pada kelenjar parotis juga bisa menimbulkan kelemahan pada otot wajah.[6]
Kemungkinan diagnosis banding penyakit serebrovaskular bisa disingkirkan dengan pemeriksaan otot wajah bagian atas. Pada lesi upper motor neuron (lesi sentral) umumnya otot wajah bagian atas tidak terlibat. Selain itu, lesi sentral biasanya juga akan disertai gangguan pada nervus kranial lainnya.[6]
Pemeriksaan Penunjang
Kelemahan otot bisa diperiksa dengan menggunakan pemeriksaan elektromyografi (EMG), terutama pada pasien dengan paralisis komplit. Namun pemeriksaan EMG bukanlah pemeriksaan yang mendesak untuk dilakukan segera. Pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak direkomendasikan dalam penegakan diagnosis Bell’s palsy karena tidak bermanfaat dalam penegakan diagnosis.[2, 6]
Pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan aliran saliva (salivary flow test) yaitu dengan menempatkan kateter yang bisa mengalirkan saliva di area buccal pada sisi normal dan sisi paralisis. Jumlah saliva yang mengalir ketika pasien distimulasi dengan makanan asam dibandingkan.
Pemeriksaan berikutnya adalah Schirmer blotting test untuk memeriksa fungsi air mata. Benzene digunakan untuk memicu reflek nasolacrimal. Aliran air mata sisi paralisis dan normal kemudian dibandingkan.